Dalam keluarganya, ia adalah generasi ke empat yang berprofesi sebagai empu. “Di desa saya, budaya membuat keris berkembang bersamaan dengan kebutuhan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lainnya. Saya kuliah dari keris,”ujar Ika yang sempat merantau ke Jakarta selama dua tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang ke desa pada tahun 2014 dan memilih profesi menjadi empu.
Baginya ada kerinduan kembali ke desa melihat kehidupan kawan-kawannya di desa Aeng Tong Tong,”Rindu ritme kerja di desa, saya mulai beli buku keris, membaca sejarah, dan saya belajar bagaimana bangsa ini dibangun!”
Pada masa awal kepulangannya ia merasa bersyukur telah memilih pulang ke desa. Ia bersama kawan-kawan di desanya mulai bekerjasama untuk memajukan desa keris dan mulai menggali sejarah keris di desanya.
Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura
“Kami datang ke orang tua sesepuh, di desa ada 20 kitab kuno. Saya bisa membacanya, hurufnya Arab pegon. Di dalam naskah itu dielaskan banyak hal misalnya tentang jenis besi, bagaimana teknik menempa, dijabarkan mengenai pamor dan maknanya, kapan waktu pembuatan yang baik dan banyak lagi. Saya masih belajar sedikit dari para empu, belum mampu seperti beliau semua,”jelas Ika.
Sebagai empu perempuan ia menyadari bahwa profesinya tidak lazim. Namun ia beranggapan bahwa perempuan pun bisa bekerja dan berkarya membuat keris.
“Mengubah pola pikir lagi, untuk urusan perempuan ini kebanyakan dianggap tabu, menjadi ibu rumah tangga serta mendapat uang dari suami menjadi alasan perempuan tidak perlu jadi empu. Selain itu, bikin keris itu berat, tangan kapalan,”jelas Ika.
Bagi empu muda ini membuat keris tak hanya membuat karya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, namun juga sebuah sebuah kewajiban sosial.
“Mengenalkan pada orang dan mengajarkan pada generasi muda!” ujar Ika.
Baca Juga: Perjuangan Warga Lokal Melawan Abrasi di Pesisir Utara Pulau Madura
“Keris itu sepertinya identik dengan hal-hal klenik atau mistis sejenis itu ya,”ujar Ika menyinggung persepsi masyarakat mengenai keris.