Ika Arista dan Kisahnya Menjadi Empu Milenial Asal Sumenep Madura

By Agni Malagina, Selasa, 29 Oktober 2019 | 14:14 WIB
Mpu Ika Riska, satu - satunya wanita yang menjadi Mpu sejak duduk dibangku sekolah dasar sedang menunjukan karyanya. (Sigit Pamungkas)

“Ada beban sosial bagi saya, membuat keris tidak hanya tentang uang dan tujuan ekonomi. Ada kewajiban sosial bagi kami para pembuat keris mengenalkan tentang keris dan mengajarkan pada generasi selanjutnya,”ujar Ika yang merasa prihatin jika keris selalu diidentikan pada barang ‘berisi’ atau berkaitan dengan hal-hal klenik dan mistis. Ia sering mendapat pertanyaan dari pengunjung atau pemesan kerisnya seperti apakah keris buatanya memiliki ‘isi’ atau tidak.

“Perlu ubah pola pikir, perlu edukasi tentang keris,”ungkapnya.

Masalah regenerasi pembuat keris di desanya seolah tak membuatnya khawatir. Ia optimis bahwa desa keris akan tetap terjaga kelestariannya. “Untuk sementara ini saya kira regenerasi di sini masih berjalan karena masih menjadi mata pencaharian dan menjadi sumber perekonomian desa. Sayang, kita miskin literasi tentang keris sehingga sejarah, kisah dan sumber perkerisan kurang lengkap,”ujar Ika sambil menambahkan kisah bahwa pendatang yang menikah dengan warga desa Aeng Tong Tong banyak yang kemudian berprofesi sebagai pembuat keris setelah melalui proses belajar dan berkerja sama dengan para empu di desa tersebut.

Baca Juga: Bersama-sama Melestarikan Lingkungan Mangrove di Bangkalan Madura

Bagi Ika, proses membuat keris dan keris itu sendiri mengajarkan banyak hal terutama terkait makna dan filosofi keris. Puteri pasangan Misbah dan Lutmiati ini pernah diminta membuat senjata khas Oman - Khanjar.

“Seorang kawan, Mas Paung namanya, meminta saya membuat khanjar dengan teknik membuat keris. Tantangan untuk saya. Saya berpikir, orang mungkin punya khanjar di luar sana, tapi tidak punya keris. Ini bagaimana saya mencurahkan budaya kita ke dalam budaya orang lain, misal memasukan pamor. Ini tentang bagaimana mengenal (senjata) orang lain dan memasukkan ruh budaya kita ke dalamnya,” tutur Ika yang memilih besi terbaik untuk senjata yang dibuatnya pada tahun 2018 dengan proses pembuatan selama satu bulan.

Baginya membuat karya yang menjadi tempatnya mencurahkan makna pemikirannya merupakan kepuasan batin tersendiri,”keris ini, kita mati tidak hanya menjadi nisan dan terlupakan, tapi ada karya.”