Penemuan Tengkorak Tanpa Rahang Ini Ubah Pemahaman Evolusi Manusia

By National Geographic Indonesia, Kamis, 10 Oktober 2019 | 13:38 WIB
Tengkorak MRD. (Dale Omori/Courtesy of the Cleveland Museum of Natural History)

Garis manusia

Penemuan baru ini juga menentang pandangan bahwa spesies Lucy adalah nenek moyang semua hominin Australopithecus yang muncul kemudian, sebelum akhirnya menjadi manusia.

Tulang pipi yang lurus vertical dan memiliki lekukan yang naik tajam sudah dianggap sebagai karakteristik modern. Karakteristik ini ada pada Australopithecus africanus (3,7 hingga 2,1 juta tahun lalu dari Africa sebelah selatan, yang juga dianggap sebagai nenek moyang langsung garis Homo) dan pada Paranthropus (2,7 hingga 1,2 juta tahun lalu dari Afrika sebelah selatan dan timur, tidak secara langsung ada dalam garis evolusi kita).

Karakter sebaliknya – tulang pipi rendah dan melengkung – dianggap primitif, dan ada pada A. Afarensis, Ardiputhecus ramidus (4,3-4,5 juta tahun lalu dari Ethopia, hominin primitif yang mirip kera) dan kera Afrika.

Bagian krista dari tengkorak MRD sekarang menentang pandangan ini karena bentuknya yang modern. Ini membuka kemungkinan anggapan bahwa A. Afarensis adalah nenek moyang semua Australopithecus yang muncul kemudian itu salah. A. anamensis kemungkinan adalah nenek moyang spesies yang lebih muda ini. Hominin mana yang merupakan nenek moyang langsung manusia masih menjadi pertanyaan tak terjawab.

Jelaslah temuan terakhir ini telah memberi cara pandang baru pada masa lalu evolusi kita, tapi juga meningkatkan kerumitan hubungan antara hominin-hominin awal. Era pertengahan Pliocee (5,3-2,6 juta tahun lalu) dipenuhi spesies yang banyak, hidup bersamaan dan tersebar sangat luas.

Baca Juga: Kenaikan Air Laut, Arkeolog Berlomba-lomba Ungkap Misteri Benteng Kuno Sebelum Tenggelam

Memperjelas hubungan antara spesies ini, memastikan karakter morfologi mereka, dan memahami cerita yang rumit tentang evolusi hominin bukanlah pekerjaan mudah. Spesimen di situs baru menangkap titik yang berbeda dari alur evolusi, tapi tidak mudah mengubah temuan ini menjadi cabang evolusi yang stabil dan bisa diandalkan.

Banyak spesimen dari periode waktu dan lokasi geografi yang jarang mengemuka dalam catatan fosil dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tapi bisa juga memutarbalikkan semua yang kita ketahui.

Penemuan di seluruh dunia selama 10 tahun terakhir telah membawa kita untuk berpikir kembali tentang sejarah evolusi kita. Ini menunjukkan bahwa fosil baru tidak mesti mendukung hipotesis yang ada, dan kita harus siap mengubah pandangan kita dan memformulasikan teori baru berdasarkan bukti yang ada.

Penulis: Hester Hanegraef, PhD Candidate of Anthropology, Natural History Museum

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.