Penemuan Tengkorak Tanpa Rahang Ini Ubah Pemahaman Evolusi Manusia

By National Geographic Indonesia, Kamis, 10 Oktober 2019 | 13:38 WIB
Tengkorak MRD. (Dale Omori/Courtesy of the Cleveland Museum of Natural History)

Nationalgeographic.co.id - Penemuan cranium (tengkorak tanpa rahang bawah) berusia 3,8 juta tahun baru-baru ini menjadi topik panas di dunia paleoanthropologi.

Tapi temuan fosil sering terjadi, kenapa tengkorak ini begitu penting? Ternyata temuan ini mengubah pandangan kita tentang bagaimana spesies hominin awal berevolusi-dan memunculkan manusia.

Mari kita bahas dari awal.

Pada 1995, peneliti menemukan beberapa bagian rahang, gigi, dan tulang anggota tubuh, berusia antara 4,2 dan 3,9 juta tahun, dan menempatkan temuan ini pada suatu spesies baru species: Australopithecus anamensis. Fosil-fosil ini ditemukan dalam sedimen yang terkait dengan sebuah danau purba–“anam”, danau dalam bahasa setempat. Beberapa spesimen tambahan ditemukan di Ethiopia, dan diperkirakan termasuk dalam spesies yang sama.

Baca Juga: Anak-Anak Korban Ritual Suku Inca Sengaja Diletakkan di Atas Gunung Agar Tersambar Petir

Karakteristik primitif A. anamensis mempengaruhi adanya pandangan bahwa spesies ini adalah nenek moyang dari Australopithecus afarensis, hominin yang lebih muda asal Tanzania, Ethiopia, dan kemungkinan juga Kenya, yang berusia antara 3,8 dan 3 juta tahun. Fosil A. afarensis yang paling terkenal adalah sebuah bagian kerangka yang dikenal sebagai Lucy, yang sempat dianggap sebagai nenek moyang manusia paling tua yang pernah ditemukan.

Tengkorak yang baru ditemukan, dijuluki “MRD” sesuai nomor registrasinya MRD-VP-1/1, memiliki banyak kesamaan dengan spesimen A. anamensis dan oleh karena itu dimasukkan dalam spesies ini. Namun, tengkorak MRD cukup utuh sehingga ilmuwan bisa untuk pertama kalinya meneliti wajah dan ruang otak keseluruhan dan memeriksa bagian tengkorak yang masih hilang dari catatan A. anamensis.

Kami menemukan beberapa karakteristik morfologi baru di tengkorak MRD, yang biasanya dianggap sebagai karakteristik spesies yang lebih muda dalam silsilah manusia. Kedalaman langit-langit mulut, misalnya, melebihi semua spesimen A. anamensis dan A. afarensis, dan bahkan termasuk yang paling dalam di spesies Australopithecus berikutnya.

Ini bertentangan dengan anggapan yang sudah lama diyakini bahwa spesies Lucy berevolusi bertahap dari A. anamensis tanpa mengalami percabangan garis evolusi – sebuah proses yang dikenal sebagai anagenesis.

Karena karakteristik modern ini sudah ada di spesies yang lebih tua, maka skenario yang paling mungkin terjadi adalah spesies Lucy terbentuk oleh pemisahan evolusi dari A. anamensis – sebuah proses yang dikenal dengan cladogenesis. Tidak diketahui kapan persisnya A. afarensi memisahkan diri. Bukti lebih lanjut adanya cladogenesis berasal dari tulang depan (bagian dari dahi) berusia 3,9 juta tahun dari Ethopia, yang ditemukan pada 1981. Bentuknya berbeda dari MRD yang menunjukkan bahwa fosil ini mungkin termasuk A. afarensis.

Jika demikian, maka kita perlu merevisi alur waktu evolusi manusia, dengan A. anamensis berada 4,2 hingga 3,8 juta tahun lalu dan A. afarensi berada 3,9 hingga 3 juta tahun lalu. Ini berarti kedua spesies ini pernah berada dalam satu waktu selama paling tidak 100.000 tahun, sehingga tidak tidak mungkin A. afarensis berevolusi secara bertahap dari satu kelompok nenek moyang.

Bahkan, semakin jelas sekarang bahwa sebagian besar garis keturunan evolusi kita berevolusi dengan memisahkan diri sebagai cabang dari kelompok yang sudah ada.