Mengapa Belum Ada Lagi Manusia yang Mengunjungi Bulan Sejak 1972?

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 6 November 2019 | 11:13 WIB
Foto yang memperlihatkan bendera AS yang ditancapkan Neil Armstrong saat pendaratan di Bulan, 20 Jul (Difa Restiasari)

Trump memang belum membatalkan proyek roket SLS, tapi dia mengubah prioritas Obama dengan memerintahkan misi pengiriman astronaut ke Bulan dan Mars.

Pembatalan demi pembatalan tersebut membuat NASA mengalami kerugian sebesar 20 miliar dollar AS. Mereka juga kehilangan waktu dan momentum.

Kurangnya dukungan publik

Kekuatan nyata yang bisa membuat misi ke Bulan tetap berjalan adalah kehendak rakyat Amerika untuk memilih politisi yang mampu melanjutkan prioritas kebijakan tersebut. Namun, minat publik terhadap eksplorasi bulan agak kabur.

Bahkan, pada misi Apollo oun–ketika Neil Amstrong dan Buzz Aldrin berhasil menginjakkan kaki di Bulan–hanya 53% persen warga AS yang merasa bahwa dana yang sudah dikeluarkan negara sebanding dengan hasilnya.

Berdasarkan polling dari Pew Research Center, saat ini, ada 55% rakyat AS yang mendukung NASA untuk kembali ke Bulan. Namun, sisanya menganggap bahwa misi itu tidak perlu dilakukan lagi.

Dukungan untuk mengeksplor Mars justru lebih besar. Sebanyak 63% orang menyatakan bahwa hal itu seharusnya menjadi prioritas NASA–bukan Bulan.

Selain itu, 91% warga meminta agar NASA memindai langit dan mencegah asteroid pemusnah jatuh ke Bumi.

Kondisi Bulan

Selain anggaran, campur tangan politik, dan dukungan warga AS, ada hal lain yang menghambat misi ke Bulan.

Perlu diingat bahwa Bulan merupakan perangkap kematian manusia berusia 4,5 miliar tahun. Permukaan Bulan dipenuhi dengan kawah dan batu yang mengancam pendaratan. Oleh sebab itu, kita tidak boleh meremehkannya.

Kembali ke pendaratan pertama pada 1969, pemerintah AS menghabiskan biaya miliaran dollar untuk mengembangkan, meluncurkan, dan mengirim satelit ke Bulan, hanya untuk memetakan permukaannya sehingga astronaut bisa sampai dengan selamat.

Namun, ketika sudah mendarat dengan aman pun, masalah tidak berakhir. Kekhawatiran yang lebih besar adalah pecahan halus–regolith atau debu Bulan--yang berada di permukaannya.

Madhu Thangavelu, insinyur aeronautika dari University of Southern California, menulis bahwa Bulan diselimuti oleh “debu halus dengan ketebalan beberapa inci yang bersifat elektrostatis akibat interaksi dengan angin Matahari. Ia bisa menempel dan merusak pakaian dan sistem kendaraan luar angkasa dengan sangat cepat”.

Peggy Whitson, astronaut yang tingal di luar angkasa selama 665 hari, baru-baru ini mengatakan kepada Business Insider bahwa misi Apollo memiliki banyak masalah dengan debu.

“Jika berencana menghabiskan waktu yang lama dan membangun habitat di Bulan, kita harus mengetahui bagaimana cara mengatasi debu bulan tersebut,” katanya.

Baca Juga: Teleskop Raksasa di Tiongkok Tangkap Sinyal Misterius dari Luar Angkasa

Selain itu, ada juga masalah terkait cahaya Matahari. Selama 14,75 hari sekaligus, permukaan Bulan akan sangat mendidih karena terpapar langsung oleh sinar Matahari (Bulan tidak memiliki atmosfer pelindung). Dan 14,75 hari selanjutnya, Bulan akan mengalami kegelapan total yang membuatnya permukannya menjadi tempat paling dingin di alam semesta.

“Tidak ada tempat paling sulit untuk hidup selain Bulan. Meski begitu, karena lokasinya sangat dekat dengan Bumi, Bulan bisa menjadi tempat terbaik untuk mempelajari kehidupan di dunia lain,” tulis Thangavelu.

NASA telah mendesain pakaian serta rover yang tahan debu dan paparan sinar Matahari. Namun, masih belum jelas apakah keduanya bisa segera digunakan karena itu merupakan bagian dari program Constellation yang sudah dibatalkan.