“Mereka tidak berkontribusi pada pasar pekerja. Selain itu, karena mereka tidak mandiri, ketika dukungan dan tunjangan dari keluarga sudah tidak ada, hikikomori bergantung pada negara,” kata Jeff.
Dikutip dari Bloomberg, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang, pada 2016, mengumumkan rencana untuk membangun pusat konseling dan staf pendukung untuk mengunjungi hikikomori di rumahnya. Dengan harapan, cara itu bisa meningkatkan semangat hikikomori untuk bekerja.
Namun, menurut Kageki Asakura, dekan Shure Universitas, itu hanya akan menambah tekanan pada hikikomori.
Apa solusinya?
Kyoko, yang mengurung di rumahnya pada usia 20-an, mengatakan dia mulai kembali ke masyarakat, satu dekade kemudian.
Selama mengunci diri itu, Kyoko beberapa kali ingin bunuh diri, mengunjungi psikiater dan berbicara dengan hikikomori lain. Saat memasuki usia 40, ia mulai menangani kelompok bantuan untuk hikikomori di Yokohama, wilayah tempat tinggalnya.
Baca Juga: Di Tengah Perang Suriah, Pria Pecinta Kucing Ini Dirikan Klinik Hewan
Grup relawan lain seperti New Start, coba mengajak hikikomori untuk mengunjungi komunitas, mendapat pengalaman kerja dan bersosialisasi.
Hikikomori lain membuat koran yang khusus membahas penyakit mental ini. Dipublikasikan pada November 2016, koran Hikikomori mendiskusikan fenomena ini di seluruh negara dan berharap bisa menghubungkan para pengidap dengan dunia luar.
“Kita hanya bisa berharap akan ada lebih banyak akses ke berbagai terapi dan kampanye kesehatan mental untuk mengurangi fenomena ini. Juga mendorong lebih banyak hikikomori untuk mencari pertolongan,” pungkas Jeff.