Nationalgeographic.co.id - Rel-rel di Stasiun Bekasi sudah menderit sejak subuh. Kereta Rel Listrik (KRL) pertama yang melaju mengarah ke Jakarta. Bagi warga Bekasi, Jakarta adalah lahan penghasilan hidup selain di kota ini sendiri. Awal perjalanan orang dan barang dari Bekasi menuju Jakarta menggunakan moda sepur ini telah dimulai sejak 1887 silam.
Masa itu, lintasan rel trayek Batavia-Bekasi selesai dibangun oleh Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api Belanda di Batavia. Tak ayal, lahirnya stasiun ini telah menambah kencang denyut Kota Bekasi yang sedang saya kunjungi ini.
“Bekasi,” tulis Pramoedya Ananta Toer, “adalah kota yang berbekas di hati. Kota yang membekasi”. Kalimat lirik itu ia ketik pada babak pembuka novel Di Tepi Kali Bekasi. Namun, saya membutuhkan kesabaran lebih untuk bisa bertahan di Bekasi ini. Di pusat kotanya, bermacam kendaraan tumpang tindih, saling merangsek di simpang-simpang jalan beraspal.
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Didi Kaspi Kasim merasa demikian pula. “Bekasi ini pelik banget,” kata Didi kepada saya. Laju kotanya, di mana industri dan masyarakat bertemu masih campur aduk. “Kadang, pembangunan juga memberikan kesulitan kepada manusia di sekelilingnya,” lanjut pria yang saya temui di Kota Bekasi ini. Bekasi memiliki tantangannya sendiri; keseimbangan pembangunan kota dengan kenyamanan manusia yang menghuninya.
Jauh sebelum tumbuh menjadi kawasan padat dan penuh industri seperti hari ini, Kota Bekasi memang telah dikenal ramai sejak lama. “Bekasi, distrik dari afdeling Meester Cornelis, salah satu daerah yang ramai oleh pedagang dari hilir hingga ke dalam,” catat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië pada 1896 silam. Bekasi, rupanya memang ditakdirkan menjadi kota yang riuh. Namun, Bekasi dulu tak seperti sekarang.
Pada masa kolonial Belanda, lebih dari separuh tanah-tanah di Bekasi tidak dikuasai oleh penduduk lokal. “Hampir seluruh tanah di Bekasi dari Sungai Cakung hingga Sungai Citarum dikuasai oleh orang-orang Tiongkok,” catat surat kabar Java Bode, salah satu koran tertua di Batavia, pada 19 Oktober 1853. Sebab itu, kata sejarawan Akhir Matua Harahap, orang-orang Belanda menyematkan embel-embel Provinsi Cina pada Bekasi.
Kendaraan yang saya tumpangi sedang mengarah ke Tambun, wilayah di bagian timur Kota Bekasi. Di depan saya, Didi dengan kendaraan roda duanya merangsek di sela-sela kepadatan jalan kota. Ia sedang melanjutkan perjalanannya menyusur pesisir utara Pulau Jawa.
Di perjalanan, mobil yang saya naiki melintas di Taman Kota Bekasi. Taman ini sama seperti taman-taman lain di kota-kota padat di Indonesia; kumpulan pohon yang dilingkung pengap polusi industri dan kendara bermesin. Sebelum menjadi tempat rekreasi orang-orang urban masa sekarang, taman ini dulunya adalah pusat pemerintahan kolonial Belanda. Dan di taman ini pula beberapa orang-orang Tambun menemui nasib nahas berabad lampau.
Pagi diawal April tahun 1869, tiga ratusan orang sedang menuju Tambun dari Cimuning. Rombongan ini dipimpin oleh Rama, seorang jawara asal Cirebon. Tujuan mereka adalah merebut tanah-tanah partikelir yang dikuasai oleh para tuan tanah yang tamak.
Mendengar kabar ratusan orang sedang bergerak ke Tambun, polisi- polisi Belanda bersiaga. Kemudian, pertempuran pun pecah.