Menyusuri Bekasi, Kota Pejuang yang Sempat Membuat Penjajah Gentar

By Zulkifli, Selasa, 19 November 2019 | 11:27 WIB
Patung para pejuang Tambun di pekarangan Gedung Juang Tambun. (Zulkifli)

“Pada malam hari, dari tanggal 2 dan 3, kerusuhan terjadi di Tambun. Asisten Residen Meester Cornelis dan beberapa personil polisi tewas terbunuh. [...]sebagian dari pemberontak itu berhasil ditawan dan dipindahkan ke Bekasi,” begitu tertulis dalam harian Bataviaasch Handelsblad empat hari usai peristiwa itu terjadi.

Diorama perjuangan rakyat Bekasi di Monumen Kali Bekasi. (Zulkifli)

Sekitar 302 orang berhasil tertangkap. Menyusul dua bulan kemudian Rama turut dibui. Namun, ia mati sebelum diadili. Bagi penduduk Tambun, Rama dan pengikutnya adalah pejuang. Tapi, di mata kolonial mereka adalah pemberontak. Dua orang dari pengikut Rama dihukum gantung bersama enam terpidana lain setahun kemudian. Kolonial Belanda, entah mengapa, mencap orang-orang itu sebagai acht Tamboenmoordenaars –delapan jagal dari Tambun. Delapan orang malang itu digantung di Alun-Alun Bekasi, taman yang tadi saya lewati.

“Bangunan ini dulu milik seorang Raja Beras,” kata Slamet, 62 tahun, kepada saya di beranda sebuah rumah berhalaman luas di Tambun. Rumah ini dibangun pada 1906. Pemiliknya adalah Khouw Tjeng Kee, seorang tuan tanah partikelir. Ialah yang disebut oleh Slamet itu sebagai seorang Raja Beras. Tambun, dulunya memang jaya sebagai daerah penghasil beras. “Orang-orang sini menyebut rumah ini Gedung Gede,” terang Slamet.

Khouw Tjeng Kee tak lama berada di bangunan ini. Ketika tentara-tentara Jepang masuk ke Indonesia, bangunan ini diambil untuk dikuasai. Mereka menjadikan rumah ini sebagai salah satu basis militer. Usai kemerdekaan, bangunan ini diambil alih oleh pasukan republik dan dijadikan sebagai pusat komando perjuangan Republik Indonesia di Bekasi. Dari sejarahnya itulah bangunan bergaya Eropa ini dinamakan Gedung Juang Tambun hingga hari ini.

Bekasi, kota yang kata Didi pelik ini, telah tercatat dalam kitab sejarah sebagai kota yang pernah membuat bangsa-bangsa penjajah gentar. Kisah kepahlawanan warga Kota Bekasi setara dengan kepahlawanan rakyat Surabaya pada masa kemerdekaan Indonesia. Sebab itu, kota ini juga membekas dalam diri Chairil Anwar.

Penyair flamboyan yang mati muda itu menaruh Bekasi dalam satu puisinya yang melegenda. Kenang/kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

Beberapa penumpang baru turun dari Kereta Rel Listrik di Stasiun Bekasi. (Zulkifli)

Kisah ini merupakan bagian dari jurnal perjalanan National Geographic Indonesia dalam menjelajahi kota-kota pesisir. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, bersama Soleh Solihun, jurnalis, akan menyusuri beberapa ruas kawasan di pesisir utara Jawa. Mereka melakukan misi pengembaraan singkat bertajuk “Jelajah Pesisir Utara Jawa”. Keduanya mengendarai sepeda motor untuk singgah di Bekasi, Cirebon, Pekalongan, dan berujung di Semarang.

Mereka singgah di tempat-tempat yang memiliki jejak sejarah kereta, geliat warga dalam usaha kecil menengah, dan toko kelontong SRC. Penugasan ini digelar selama tujuh hari, 18 – 24 November 2019. Tujuan Jelajah Pesisir Utara Jawa ini adalah menyaksikan aspekaspek yang membentuk riwayat kota sampai perkembangannya hingga hari ini

Pembangunan infrastruktur Jalan Raya Pos dan jaringan kereta api telah membuat kota-kota menjadi lebih dekat makin kuat. Simak jurnal perjalanan harian #JelajahPesisirUtaraJawa di akun media sosial dan web National Geographic Indonesia.

#JelajahPesisirUtaraJawa

#NGIonAssignment_SRC

#DekatMakinKuat