Kepulauan Sangihe dan Kerajaan Bawah Lautnya

By National Geographic Indonesia, Rabu, 20 November 2019 | 10:58 WIB
Pemandu selam di Polnustar Diving Center, Herjumes A Atjin, melayang di atas hamparan terumbu karang di Desa Petta, Kabupaten Kepulauan Sangihe. ( Deden Iman Wauntara/National Geographic Indonesia)

Penulis: Yusuf Wahil

Nationalgeographic.co.id - Minggu pagi, saya bersama videografer Deden Iman Wauntara mengendarai sepeda motor matik warna abu-abu. Deden membonceng saya, lengkap dengan peralatannya yang seabrek. Kami meminjam sepeda motor itu dari Michal Sklenar. Dia adalah pria berkebangsan  Republik Ceko yang menikahi perempuan setempat bernama Nariba Pasalia. Keduanya merupakan pemilik Hatarua Homestay di Lenganeng di dekat Puncak Pusunge.

Puncak Pusunge berada di ketinggian sekitar 433 meter dari permukaan laut. Untuk menuju ke sana, kita menempuh perjalanan kendaraan dengan sedikit berkelok dan mendaki sekitar 25 menit.

Dari Puncak Pusunge, kita bisa menyaksikan Teluk Tahuna dan jejeran rumah yang tak beraturan. Kemegahan Gunung Awu seolah ingin menceritakan siapa sejatinya yang penguasa alam ini. Namun, jika ingin melihatnya lebih utuh dan sempurna, sebaiknya singgah pada pagi hari. Sedikit terlambat, puncak gunung sudah ditutupi awan. Jika ingin menikmati sunset dan sunrise di sinilah tempatnya. Saat malam hari, kerlap-kerlip cahaya Kota Tahuna sangat memukau. Saat malam hari, jangan lupa memakai jaket tebal. Dinginnya luar biasa.

Baca Juga: Dua Puskesmas Sangihe Sudah Memakai Rujukan Daring

Tulisan (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Dari ketinggian kami melihat seeokor raptor yang sedang bermain-main di angkasa. Sayangnya, kemampuan lensa saya dan Deden tak bisa menjangkaunya. Beberapa raptor lainnya makin tinggi mengangkasa dan hilang menembus awan. Raptor-raptor itu menangkasa di atas Puncak Pusunge, yang pernah menjadi tempat favorit bagi para paraglaider ataupun pecinta olahraga ekstrem. Namun, belakangan sudah tidak ada lagi karena izin dari pemilik lahan tidak diperpanjang.

Sangihe memiliki surga bawah lautnya, yang tak kalah memukau dengan Bunaken. Kepulauan ini juga menjadi salah satu lokasi utama jalur masuk burung-burung migran dari Jepang dan Semenanjung Korea. Majalah National Geographic Indonesia, edisi Maret 2018 pernah menulis tentang perkara ini. Ketika musim gugur tiba di Tiongkok, Francesco Germi dan koleganya mencatat 230.214 ekor elang alam cina yang singgah di Sangihe pada 2007.

Herjumes Aatjin atau uchil, guide selam di Polnustar Dive Center di Tahuna, sedang mengangkat tabung untuk persiapan menyelam. (Josua Marunduh/National Geographic Indonesia)

Mereka adalah para pegembara angkasa yang menempuh perjalanan panjang dan bahaya. Perubahan cuaca dan menipisnya makanan di daerah asal telah memicu burung-burung untuk meruaya ke kawasan khatulistiwa. Terdapat tiga kelempok burung yang beruaya ke Nusantara: burung daratan, burung air, dan burung pemangsa. Mereka terbang dari utara katulistiwa pada September-April. Kawanan lain datang dari selatan khatulistiwa pada April September. Setelah lima sampai enam bulan, mereka kembali pulang untuk berkembang biak ketika musim panas tiba di negeri asal.

Kabupaten Kepulauan Sangihe, secara administrasi ibu kota kabupatennya berada di Tahuna. Inilah salah satu kabupaten terluar yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, selain Miangas. Tepatnya berada dikawasan kepulauan diujung utara yang berbatasan langsung dengan perairan Pulau Mindao, Filipina.

Selain memiliki budaya yang masih terjaga, Sangihe juga memiliki 105 pulau, 26 pulau berpenghuni dan 79 pulau tak berpenghuni. Pulau ini memiliki potensi wisata bawah laut maupun di daratan.