Peninggalan Berharga di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat

By Warsono, Senin, 2 Desember 2019 | 15:35 WIB
Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, masjid peninggalan Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Matahari sudah mulai tinggi ketika kami memasuki halaman Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, masjid peninggalan Kesultanan Riau-Lingga. Nurfatilla Afidah, intepreter Tur Masjid Raya Sultan Riau, mengajak kami ke arah balai di sebelah kiri masjid yang terlindungi bayangan. Tilla, sapaan akrabnya, menjelaskan tentang sejarah berdirinya masjid ini. Sebelum memulai tur masjid ini pengunjung perempuan harus menggunakan hijab atau selendang yang menutupi kepala.

Masjid Raya Sultan Riau Penyengat dibangun oleh Sultan Mahmud pada 1803, terbuat dari kayu, dibangun olehnya ketika membangun infrastruktur untuk kediaman istrinya – Raja Hamidah putri dari Raja Haji Fisabilillah. 

Seiring bertambahnya jumlah jemaah, pada 1832 masjid dipugar oleh Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman. “Raja Abdurrahman memberikan seruan pada masyarakat tepat pada 1 Syawal, seruan jihad untuk bersama-sama memperbaiki masjid,” ucap Tilla. Dengan adanya seruan ini masyarakat berbondong-bondong untuk ikut membangun masjid ini. Untuk pembangunan pondasinya sendiri hanya memakan waktu selama tiga minggu.

Selain memberikan sumbangan tenaga, banyak juga masyarakat yang memberikan sumbangan bahan makanan, salah satunya telur. Tila bercerita tentang putih telur untuk membangun masjid ini, “dulu banyak pekerja asal India, mereka berkata kalau di negerinya putih telur bisa juga dijadikan untuk bahan perekat bangunan."

Baca Juga: Narasi Borobudur: Storynomicnya Megastruktur Terbesar di Dunia

Di halaman masjid ini terdapat dua rumah sotoh di bagian kiri dan kanan halaman depan masjid, saat ini rumah sotoh dipugar menjadi tertutup, dahulunya rumah ini terbuka dan digunakan sebagai tempat belajar ilmu agama dan musyawarah, serta menjadi tempat istirahat para musafir. 

Di halaman ini juga terdapat dua balai untuk menunggu waktu salat atau pada saat bulan ramadan menjadi tempat untuk buka puasa bersama. Tila lalu menunjukkan foto saat halaman masjid masih berupa rerumputan, “dulu saya suka main guling-gulingan di sini,” sambil menunjuk di foto. “Balai ini juga jadi tempat saya menunggu waktu salat, belajar mengaji, dan buka puasa bersama,” ucapnya lagi.

Di bagian kiri dan kanan masjid terdapat kolam untuk mengambil wudu yang disebut dua kulah. Sebelah kiri untuk tempat wudu perempuan, yang kanan untuk berwudu laki-laki. Dua kulah ini adalah ukuran volume air yang digunakan untuk berwudu sesuai hadis Nabi, setara dengan 270 liter ukuran saat ini. Tetapi kolam ini sudah dibuat menjadi jejeran keran untuk berwudu.

 

Nurfatilla Afidah, intepreter Tur Masjid Raya Sultan Riau, menunjukkan foto Masjid Sultan Riau Penyengat saat dirinya masih kecil. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Masjid ini memiliki empat menara dan 13 kubah, sepuluh kubah berbentuk bulat dan tiga berbentuk persegi panjang. Jika dijumlahkan hasilnya menunjukkan jumlah rakaat dalam salat fardu lima waktu. Tujuh pintu yang ada di masjid ini melambangkan jumlah ayat dalam surah Alfatihah yang artinya pembukaan. Jendelanya yang berjumlah enam buah melambangkan Rukun Iman.

Tilla, yang juga anggota Pokdarwis Pulau Penyengat, mengajak masuk ke dalam masjid, sebelum masuk ke masjid pengunjung diharuskan mengambil wudu dahulu. Di ruangan depan masjid kami bertemu Hambali, seorang pengurus masjid. Beliau berkata, “masjid ini memiliki lima ruangan utama, dari ruangan ini sampai ke ruangan mimbar.” Lima ruangan utama ini seperti jumlah Rukun Islam. 

"Empat tiang utama masjid menunjukkan jumlah Khulafaur Rasyidin atau sahabat Nabi, bisa juga jumlah mazhab dalam Islam,” ucap Tilla. Tilla mengajak ke arah mimbar yang dipesan dari Jepara, mimbar dengan gaya eropa dan memiliki aksen cina di detilnya. “Mimbar ini masih dipakai hingga saat ini, saat Salat Jumat khatib duduk di atas mimbar ini,” ucap Hambali. Mimbar ini memiliki kembaran yang saat ini ada di masjid di Daik, Lingga.

Baca Juga: Berusia 8.000 Tahun, Mutiara Tertua Ditemukan di Abu Dhabi

"Di sini juga ada ritual injak tanah,” ujar Hambali sambil menunjukkan piring berisi pasir yang berasal dari Makkah. Semua anak-anak di Pulau Penyengat yang berumur 40 hari sebelum menginjak tanah diinjakkan tanah ini dahulu. “Harapannya langkah mereka akan selalu menuju ke kebaikan, atau mereka bisa juga menginjak tanah di tempat asalnya.” ucap Hambali lagi.

Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, tetapi pasir ini sudah habis, lalu seorang jemaah masjid yang pergi ke Makkah mengambil pasir lagi yang digunakan untuk ritual injak tanah hingga saat ini.

Dua lemari berisi ratusan kitab milik Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi yang berada di ruangan depan masjd. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Di depan pintu masuk utama masjid terdapat lampu kristal hadiah dari Raja Prusia karena terkesan oleh kebaikan Kesultanan Riau-Lingga yang telah menerima Eberhardt Herman Rottger, yang menjalankan misi gereja, sebagai warga di kesultanannya. Di sini juga terdapat Al-Qur’an tulis tangan yang ditempatkan dalam kotak kaca. Al-Qur’an ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul.

Namun peninggalan paling berharga di masjid ini ada di dalam dua lemari yang terdapat di ruangan depan masjid. Lemari yang di pintunya terdapat kaligrafi. Lemari ini milik Yang Dipertuan Muda X Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi.

Di dalam lemari terdapat ratusan kitab dan buku yang dikumpulkan oleh Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, nama yang diabadikan menjadi nama Gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah Kepulauan Riau. "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,” ucap Tilla setelah membacakan kaligrafi yang merupakan penggalan surah Alkahfi.