Nationalgeographic.co.id - Saya terpikat Penyengat kala pertama berlabuh di pulau yang pernah disebut dengan nama Pulau Mars (Eiland Mars). Perahu pompong kayu bermesin diesel berbahan bakar solar, berukuran panjang sekitar empat meter membawa mengarungi laut yang memisahkan pelabuhan Tanjungpinang dan Pulau Penyengat. Siang itu terasa panas, cuaca sedang cerah, gelombang pun cukup tenang. Berbeda dengan musim hujan atau musim angin yang membuat warga terkadang mengurungkan niatnya untuk menyeberangi lautan. Dari kejauhan, saya bisa melihat kubah dan menara Masjid Raya Sultan Riau Penyengat yang seolah bersinar diterpa intensitas cahaya matahari yang tinggi di tengah siang bolong.
Hari itu saya ditemani Raja Farul dan Alfi Rizwan menuju Pulau Penyengat untuk jelajah pulau bersama anggota milenial Kelompok Sadar Wisata Pulau Penyengat yang akan mengantar saya mengenal Pulau Penyengat dan manusianya melalui perjalanan dan pengalaman tak biasa. Mereka menyebutnya tur interpretif dan mereka menjadi interpreternya! Saya, menikmati produk pariwisata budaya di Pulau Penyengat selama dua hari! Hari yang padat dengan pengalaman luar biasa dari delapan produk pariwisata Pulau Penyengat.
Pulau Penyengat, mungkin tak banyak dari kita yang mengenal keberadaan pulau pusat kebudayaan dan literasi Melayu Nusantara bahkan dunia. Sebuah pulau yang memiliki luas tak lebih dari 2 km persegi di wilayah perbatasan Indonesia Singapura, wilayah kelurahan yang menjadi bagian dari Pemerintah Kota Tanjungpinang di Propinsi Kepulauan Riau.
Pulau ini merupakan pusat kebudayaaan Melayu, pusat kajian Melayu Islam ternama di dunia. Ratusan peneliti Indonesia dan akademisi mancanegara datang menyigi Kebudayaan dan Kesusastraan Melayu. Pulau ini istimewa, pulau ini dianggap sebagai pengikat budaya rumpun Melayunya Indonesia, Singapura, Malaysia. Bahkan, di pulau kecil inilah lahir Raja Ali Haji sang penulis Gurindam Dua Belas yang juga mencatatkan tata bahasa Bahasa Melayu dalam kitabnya yang berjudul Bustan al Katibin (1850), peletak dasar tata bahasa Bahasa Indonesia.
Kini, saya mengenal Pulau Penyengat tak hanya membaca literatur namun juga mengenal kehidupan masa lalu dan masa kini masyarakat di Pulau Penyengat melalui cara yang berbeda. Mengikuti perjalanan dipandu interpreter warga pulau yang berkisah tentang warisan budaya nenek moyangnya sejak Pulau Penyengat dijadikan tempat kediaman Engku Putri (Raja Hamidah) sejak tahun 1803. Tak hanya itu, saya mengenal Raja Ali Haji, Roesidijah (Rusidiyah Club), Engku Putri, para penulis dan cendikia Pulau Penyengat yang bergerak di bidang literasi, literasi sebagai alat perjuangan kebangsaan mereka mengritisi pemerintah kolonial masa itu. Tak hanya itu, saya merasakan pengalaman mengenal seni budaya Melayu bersama para interpeter muda. Ya, saya bisa memasak nasi dagang dengan lauk pauknya, meracik es dohot, bahkan membuat tanjak sendiri!
Perjalanan saya menulis feature untuk National Geographic Indonesia edisi Oktober 2019 yang berjudul Warisan Sastra Penyengat tak lepas dari pengalaman-pengalaman saya bergaul dengan para interpreter dan kisah-kisah yang mereka tuturkan dalam beberapa pengalaman perjalanan yang bertajuk:
1. Tur Masjid Raya Sultan Riau (0,5 jam, interpreter Nurfatilla Afidah dan Ziqkri)
2. Tur Sejarah Pulau Penyengat dengan bentor - becak motor (2,5 - 3 jam) atau dengan sepeda (3,5 - 4 jam) - interpreter Pradypta Galeh Jiwandono, Syaiful
3. Tur Literatur (1,5 - 2 jam, interpreter Alfi Rizwan)
4. Pengalaman Berbusana Tradisional Melayu (0,5 - 1 jam, interpreter Surtini, Dian Destiyanti, Evi Nurziana, Hariawan)
5. Pengalaman Kuliner Melayu (1 jam, interpreter Raja Farul dan Nurfatilla Afidah)
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR