Akibat Konflik Kepentingan, Lebih dari 1.700 Pembela Lingkungan Dibunuh dalam Enam Tahun

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Desember 2019 | 11:17 WIB
Ilustrasi aktivis lingkungan. (Shutterstock)

Chico Mendes, seorang penyadap karet, pemimpin serikat kerja, dan aktivis lingkungan hidup asal Brasil, adalah salah satu contoh pembela lingkungan terkenal.

Ia dibunuh tahun 1998 karena dalam melindungi hutan Amazon dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Pembela lingkungan asal Brasil lainnya, José Claudio Ribeiro dan Maria do Espirito Santo, dibunuh pada tahun 2011 karena aktif menentang penebangan hutan ilegal di daerah Amazon.

Di Kamboja, Chut Wutty, direktur Natural Resource Protection Group, sebuah LSM Kamboja yang aktif mengritik korupsi di pemerintahan dan militer serta menentang penebangan ilegal, tewas ditembak tahun 2012.

Pembunuhan Berta Cáceres pada 2016 karena melawan pembangunan bendungan yang merebut hak atas air dan lahan dari suku Lenca di Hondursa mengundang perhatian internasional. Dunia internasional mengecam dan menuntut keadilan atas kematian Berta.

Sebagian pembunuhan pembela lingkungan mendapatkan perhatian dunia internasional, namun banyak hanya berhenti pada level lokal.

Adanya konflik kepentingan

Latar belakang kekerasan dan pembunuhan terhadap pembela lingkungan adalah konflik terkait ekstraksi lahan atau air serta sumber daya alam , misalnya bahan bakar fosil, tambang, pertanian, akuakultur (budi daya perikanan), dan kayu.

Konflik sumber daya alam sudah terjadi sejak era kolonialisme, saat pemerintah kolonial mengambil hak atas lahan secara ilegal.

Sementara, dewasa ini, jejak lingkungan (environmental footprints) muncul dari pola konsumsi negara kaya yang mengambil sumber daya dari negara berpenghasilan lebih rendah.

Pengambilan sumber daya alam dari satu negara berbeda dengan negara yang memproduksi dan mengonsumsi.

Perusahaan atau kelompok yang tidak memiliki hak terhadap sumber daya alam biasanya akan melakukan ekstraksi, contohnya penebangan hutan ilegal di hutan adat, atau ekstraksi air sungai yang biasa dikonsumsi penduduk lokal oleh perusahaan tambang milik asing di Bolivia.

Meski sebagian perusahaan lokal atau nasional, namun banyak kasus melibatkan perusahaan multinasional sebagai salah satu faktor pendorong akan adanya kekerasan terhadap pembela lingkungan.