Akibat Konflik Kepentingan, Lebih dari 1.700 Pembela Lingkungan Dibunuh dalam Enam Tahun

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Desember 2019 | 11:17 WIB
Ilustrasi aktivis lingkungan. (Shutterstock)

Pertanyaannya adalah: siapakah yang melakukan pembunuhan tersebut?

Kekerasan terhadap pembela lingkungan mungkin dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan tertentu, seperti penebang liar atau penambang, atau atas nama kepentingan pemerintah.

Dalam satu kasus, pihak kepolisan Pau D'Arco, Brasil, justru diduga membunuh 10 pembela lingkungan pada bulan Mei 2017.

Sementara, untuk kasus Chut Wutty, banyak dugaan pembunuhan itu dilakukan oleh polisi militer.

Penelitian kami menemukan kelemahan regulasi serta korupsi di negara yang memiliki hubungan erat dengan kematian pembela lingkungan.

Kami juga menemukan bahwa dari angka pembunuhan tersebut, sekitar 40% adalah pembunuhan terhadap pembela lingkungan tahun 2015 dan 2016, serta 30% tahun 2017, terhadap masyarakat adat.

Masyarakat adat memiliki hak atas seperempat dari lahan di seluruh dunia (sekitar 38 juta kilometer persegi). Konflik sumber daya alam sering berkaitan dengan tidak adanya pengakuan terhadap hak lahan tersebut.

Salah satu contoh terbaru tentang konflik lahan dengan masyarakat adat adalah kasus Standing Rock di AS.

Suku Sioux, salah satu suku asli di AS, bersama aliansi pembela lingkungan melawan pembangunan North Dakota Access Pipe Line, berhadapan dengan respon agresif dari otoritas. Hasilnya, sejumlah demonstran terluka dan dilarikan ke rumah sakit.

Kami melihat bahwa perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari ekstraksi sumber daya alam telah mengabaikan hak-hak para pembela lingkungan, dan turut serta mendorong kekerasan kepada mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki tanggung jawab untuk bertindak secara etis.

Ada urgensi untuk pemahaman global terkait dengan konflik sumber daya alam. Yang saat ini terjadi, dalam konteks perusakan lingkungan dan sosial, merupakan hasil dari globalisasi dan meningkatkan perdagangan serta konsumsi.

Baca Juga: Agar Belanja Online Lebih Ramah Lingkungan, Berikut Cara yang Bisa Dilakukan

Perspektif global dibutuhkan dalam penanganan konflik sumber daya alam. Globalisasi mendorong terjadinya kerusakan lingkungan serta permasalahan sosial, yang kemudian diperparah oleh aktivitas perdagangan serta konsumsi.

Ada pembungkaman terhadap mereka yang bersuara untuk lingkungan hidup. Rendahnya vonis pengadilan menunjukkan tidak banyak yang memperoleh hukuman setimpal atas pembunuhan tersebut.

Lingkaran kekerasan dan aspek kekebalan hukum berpengaruh terhadap komunitas, menciptakan ketakutan. Meski takut, banyak yang terus berjuang bagi keadilan sosial dan lingkungan.

Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

Penulis: Nathalie Butt, Postdoctoral Fellow, The University of Queensland dan Mary Menton, Research Fellow in Environmental Justice, University of Sussex

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.