Perang, Sege dan Jejak Pertanian Masa Lalu

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 November 2019 | 15:39 WIB
Warga menangkapi babi peliharaan yang kabur di kawasan Kampung Gunung Susu, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Bagi masyarakat Papua, babi memiliki banyak makna baik dalam ekonomi, sosial maupun budaya. Sebagai simbol ekonomi babi mempunyai nilai tukar tang tinggi, bahkan dalam setiap ri (Djuli Pamungkas)

Penulis: Albertus Vembrianto

Nationalgeographic.co.id - Penyelenggaraan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) 2017 memecahkan rekor karena jumlah sege yang dilempar ada lebih dari 1.359 buah. Karenanya, FBLB tahun itu mendapat dua rekor sekaligus, rekor Indonesia dan dunia. Festival tersebut selalu menampilkan pertunjukan peperangan.

Bagi masyarakat yang menempati Lembah Baliem, Sege lebih populer dikenal sebagai tombak, galah dengan salah satu bagian ujung diruncingkan, sebagai alat perang.

Sege ini terbuat dari kayu hutan, bisa dari jenis kayu apa saja. Syaratnya harus lurus dan memiliki panjang 2,5 meter. Sementara diameter kayu tak lebih dari 5-7 sentimeter. Pelempar sege selalu laki-laki, karena perempuan dianggap sebagai pengurus rumah, bukan perang.

Baca Juga: Kemajuan Internet Demi Pendidikan di Papua

Perang bagi orang Hubula bersifat sakral, dilakukan dalam beragam tahapan ritual. Mulai dari pembukaan hingga penyelesaian. Perang bukan berakhir di saat salah pihak bersengketa, kalah dan tumpas menyerah.

Hakikat perang adalah upaya menjaga keseimbangan semesta. Semisal nampak dalam praktik, pihak yang sudah membunuh harus menanggung dan membayar kehilangan dari pihak terbunuh. Dalam hal ini babi menjadi alat bayar.

Selain perkara kecerdasan dan ketangkasan dalam mengatur strategi, upaya perlindungan atas hak milik, perang juga melibatkan upaya perdamaian di antara kelompok bersengketa, salah satunya melalui perkawinan.

Mumi Wim Motok Mabel diperlihatkan di Desa Jiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Mumi berusia kurang lebih 285 tahun ini diawetkan dengan cara tradisional, menurut warga pengasapan di dalam honai dan pelumuran menggunakan minyak babi menjadi cara untuk tetap menjaga keawetan mumi Wim Motok Mobel. (Djuli Pamungkas)

Di masa damai dan hidup sehari-hari, sege masih melekat dan memiliki peran penting dalam pertanian. Saat teknologi dan budidaya pertanian mengalami beragam perubahan, masyarakat Hubula di Lembah Balim tetap menggunakan sege untuk mengolah tanah.

Meski peralatan bertani buatan pabrik seperti sekop, gampang ditemui di sejumlah toko di Kota Wamena, masyarakat di Lembah Balim tetap menggunakan sege. Sekop memang jamak dipakai, hanya untuk bagian menggemburkan tanah atau menyiangi rumput.

Sege dipakai untuk mengungkit permukaan tanah. Setelah tanah terangkat, bagian permukaan yang ditumbuhi rumput dibalik, ditaruh di bagian bawah.