Perang, Sege dan Jejak Pertanian Masa Lalu

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 November 2019 | 15:39 WIB
Warga menangkapi babi peliharaan yang kabur di kawasan Kampung Gunung Susu, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Bagi masyarakat Papua, babi memiliki banyak makna baik dalam ekonomi, sosial maupun budaya. Sebagai simbol ekonomi babi mempunyai nilai tukar tang tinggi, bahkan dalam setiap ri
Warga menangkapi babi peliharaan yang kabur di kawasan Kampung Gunung Susu, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Bagi masyarakat Papua, babi memiliki banyak makna baik dalam ekonomi, sosial maupun budaya. Sebagai simbol ekonomi babi mempunyai nilai tukar tang tinggi, bahkan dalam setiap ri (Djuli Pamungkas)

Biasanya perlu dua hingga tiga orang mengungkit sebidang tanah secara bersamaan, dengan masing-masing sege. Ujung sege yang runcing masuk ke dalam tanah. Saat tanah terangkat, satu orang lain akan menerima dan membalik tanah itu.

Membalik permukaan tanah dengan sege itu mirip mencangkul, hanya ukuran bongkahan tanah besar. Karenanya urusan kebun dalam tradisi masyarakat pegunungan, dikerjakan secara kolektif dan terorganisasi.

Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken dan mengembangkannya menjadi produk lain diantaranya penutup kepala, rok, baju, gendongan anak bahkan gaun.
Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Salomina merupakan salah satu penggerak masyarakat perempuan di Kelompok Kerajinan Noken Humi Soge yang memproduksi noken dan mengembangkannya menjadi produk lain diantaranya penutup kepala, rok, baju, gendongan anak bahkan gaun. (Djuli Pamungkas)

Memecah bongkahan tanah, membuat gembur dan disiapkan menjadi lahan, adalah pekerjaan perempuan. Demikian halnya untuk perkara menanam, merawat tanaman hingga panen.

"Dulu kebun masa tete (kakek) selalu besar", kenang Natalia Itlay, 30. Kebun besar berarti melibatkan pengorganisasian tim, alokasi waktu kerja dan ketersediaan bahan makan untuk para pekerja yang tidak sedikit.

Baca Juga: Internet untuk Warga Papua

Tabiat kerja masyarakat di Lembah Balim, Robert Gardner dan Karl G. Heider pernah mencatat, orang Dani (Hubula) sepertinya enggan menghabiskan waktu bersantai. Seorang laki-laki yang belum menikah memiliki kewajiban yang membuatnya sibuk membuka lahan kebun selama berhari-hari (Robert Gardner - Karl G. Heider, Garden of War: Life and Death in the New Guinea Stone Age, 1968).

"Tapi sekarang orang di sini berubah sejak banyak program pemerintah masuk, seperti otsus, raskin, pilkada dan dana kampong," jelas Natalia. Belakangan agak sulit menemukan orang yang mau kerja di kebun. Konon, belakangan laki-laki sibuk dengan obrolan politik dan program pemerintah. Kini kebun-kebun tak seluas dan sebesar seperti jaman tete.

Kini kecenderungannya perempuan yang mengerjakan kebun. Kebun-kebun dengan ukuran kecil. Sebab perempuan masih harus mengurus rumah dan keluarga, selain kebun. "Perempuan itu bekerja dari matahari terbit, hingga matahari terbenam di mata suami," ujar Natalia menjelaskan betapa beragamnya beban yang ditanggungkan perempuan di Lembah Balim di masa kini. Sebuah masa yang konon sudah mengalami program pembangunan.