Kreasi Anyam Noken Para Janda di Lembah Balim

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 November 2019 | 15:35 WIB
Salomina Pabika menyelesaikan pembuatan noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. (Djuli Pamungkas)

"Selain untuk melestarikan tradisi, noken ini bisa menjadi tambahan penghasilan para janda," kata Salomina. Toh, belakangan noken mulai banyak peminat. Saat festival Lembah Balim yang terakhir, noken dan kerajinan anyam lain buatan para janda ini, habis dibeli para pengunjung.

Kelompok Homisoge ini hanya membuat noken dari bahan-bahan alam, seperti serat tumbuhan dan pewarnanya. Para janda ini ingin agar generasi muda, tahu tentang pembuatan noken dan melestarikannya. "Dulu perempuan yang tidak tahu bikin noken akan dianggap tidak tahu adat," kata Mama Benedikta, 57 tahun, ketua Sanggar Homisoge.

Kelompok ini sesekali mengadakan pelatihan terkait ketrampilan merajut dan mengayam, teknik yang dipakai membuat noken. "Saya lihat ada mama yang bisa bikin baju dan rok dengan teknik noken, saya memintanya untuk melatih mama-mama yang lain," kata Salomina.

Baju dan rok yang dibuat teknik noken ini relatif baru. Belum banyak mama-mama yang mengerti tekniknya, seperti membuat bagian lengan.

Salomina yang bukan termasuk janda, lebih berperan sebagai pendamping. Karena peran dalam keluarga dan kesibukan pekerjaan, Salomina hanya sesekali membantu. Seperti menjadi penerjemah saat ada tamu datang. Sebab tak semua mama-mama janda ini bisa berbahasa Indonesia. Di saat lain Salomina bisa membantu pemasaran kerajinan produk sanggar.

Kini anggota sanggar yang aktif sebanyak 15 mama janda, ditambah yang lain seperti Salomina, seluruhnya 19 perempuan. Kalau anggota yang terdaftar sebanyak 40 perempuan.

Salomina Pabika memakai pakaian lengkap yang terbuat dari noken di Jalan Anelagak Hotel Jerman, Kampung Yumugima, Distrik Siepkosi, Kabupatten Jayawijaya, Papua. Dalam bahasa lokal Siepkosi, seni merajut noken ini disebut Suitarekh yang mengandalkan serat dari pohon Digi dan Genemo sebagai bahan baku benangnya. (Djuli Pamungkas)

Tak mudah untuk mengorganisasi sebuah kelompok dalam situasi seperti di Papua. Pengalaman represi selama bertahun-tahun membuat sulit untuk membangun saling percaya.

Kerap ada kesalahpahaman dan kecurigaan sesama anggota, yang membuat satu atau dua anggota jadi enggan berkumpul.

Kendala lain yang dihadapi mama-mama adalah bahan baku yang sudah sulit, sementara minat terhadap noken tinggi. "Saya sudah mengusulkan ke mama-mama untuk menanam bahan baku seperti digi," kata Salomina.

Baca Juga: Kemajuan Internet Demi Pendidikan di Papua

Hanya belakangan babi mulai makan saat digi tumbuh besar. Karenanya kebun harus dipagar. Itu berarti pekerjaan ini harus melibatkan laki-laki. Sanggar juga sedang berencana menyiapkan kawasan khusus untuk budidaya digi.

"Kami sedang mengajukan bantuan untuk mesin pemintal," kata Salomina. Pemintal ini nanti diperlukan untuk memintal serat-serat tumbuhan bahan pembuat noken agar menjadi benang. Kalau serat dipintal sendiri seperti di masa lalu, perlu waktu lama untuk pembuatan noken.

Sanggar ini terbuka untuk kerja sama dengan beragam pihak. "Saya ada bayangan, bekerja sama dengan perancang busana, agar baju atau rok yang kita bikin bisa lebih menarik," ujar Salomina.