Penulis: Albertus Vembrianto
Nationalgeographic.co.id - Orang-orang di Lembah Balim, Papua, menyebut pohon yang kulitnya dipakai bahan membuat noken (tas khas Papua) dengan yakik. Mirip pohon melinjo, hanya daun dan buahnya tidak dimakan. Pohon yakik ini sudah langka jarang. Jika pun toh ada hanya di hutan yang jaraknya jauh dari pemukiman.
"Belakangan perempuan sering membuat noken dengan bahan dari digi," kata Salomina Pawika, 30, warga di Distrik Siepkosi, Kabupaten Jayawijaya. Digi adalah sejenis tanaman perdu. Di sekitar rumahnya, Salomina mulai menanam digi.
Bersama sejumlah janda di Distrik Siepkosi, Salomina mempunyai kelompok perempuan pembuat noken. Kelompok ini dinamai dengan Homisoge, bahasa Suku Hubula di Lembah Balim, yang artinya perempuan janda. Hampir semua anggota kebanyakan janda, tapi ada yang berpasangan seperti Salomina.
"Melihat kehidupan para janda itu, ada kesulitan-kesulitan yang ditanggungkan," cerita Salomina. Saat masa sekolah menengah atas, Salomina pernah melihat para janda dikumpulkan di balai kampung. Satu per satu mereka ditanyai, apakah mereka mau menikah lagi atau tidak.
Baca Juga: Perang, Sege dan Jejak Pertanian Masa Lalu
Banyak janda tidak senang dengan pertemuan itu. Sebagian besar dari mereka lebih nyaman tetap menjanda.
Semasa kuliah Salomina masih mendengar cerita para janda dapat kejar dari laki-laki. "Bahkan ada yang hampir diperkosa laki-laki," kata Salomina. Status janda memposisikan perempuan rentan terhadap kesemena-menaan laki-laki.
Di sejumlah kesempatan keluarga atau kerabat berkumpul, seperti kedukaan saat ada yang meninggal, ada yang mengusulkan mama-mama janda itu tidak perlu diberi kebun. Kemungkinan yang memberi usulan itu karena cemburu atau sakit hati terhadap janda.
"Menjadi janda tanggungannya berat," kata Salomina. Selain karena gangguan-gangguan, segala pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki, harus ditanggung sendirian. Seperti membuat pagar itu bagian tugas laki-laki. Juga membesarkan dan membiayai anak-anak.
Selesai kuliah, saya mengumpulkan mama-mama janda ini untuk saling menguatkan, kata Salomina. Para mama janda jangan lagi berjalan sendiri. Di luar waktu kerja kebun dan urus rumah, Salomina mengusulkan mama-mama ini berkumpul, membentuk kelompok pengrajin noken. Sejak itu, Sanggar Homisoge berdiri.