Penulis: Albertus Vembrianto
Nationalgeographic.co.id - Penyelenggaraan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) 2017 memecahkan rekor karena jumlah sege yang dilempar ada lebih dari 1.359 buah. Karenanya, FBLB tahun itu mendapat dua rekor sekaligus, rekor Indonesia dan dunia. Festival tersebut selalu menampilkan pertunjukan peperangan.
Bagi masyarakat yang menempati Lembah Baliem, Sege lebih populer dikenal sebagai tombak, galah dengan salah satu bagian ujung diruncingkan, sebagai alat perang.
Sege ini terbuat dari kayu hutan, bisa dari jenis kayu apa saja. Syaratnya harus lurus dan memiliki panjang 2,5 meter. Sementara diameter kayu tak lebih dari 5-7 sentimeter. Pelempar sege selalu laki-laki, karena perempuan dianggap sebagai pengurus rumah, bukan perang.
Baca Juga: Kemajuan Internet Demi Pendidikan di Papua
Perang bagi orang Hubula bersifat sakral, dilakukan dalam beragam tahapan ritual. Mulai dari pembukaan hingga penyelesaian. Perang bukan berakhir di saat salah pihak bersengketa, kalah dan tumpas menyerah.
Hakikat perang adalah upaya menjaga keseimbangan semesta. Semisal nampak dalam praktik, pihak yang sudah membunuh harus menanggung dan membayar kehilangan dari pihak terbunuh. Dalam hal ini babi menjadi alat bayar.
Selain perkara kecerdasan dan ketangkasan dalam mengatur strategi, upaya perlindungan atas hak milik, perang juga melibatkan upaya perdamaian di antara kelompok bersengketa, salah satunya melalui perkawinan.
Di masa damai dan hidup sehari-hari, sege masih melekat dan memiliki peran penting dalam pertanian. Saat teknologi dan budidaya pertanian mengalami beragam perubahan, masyarakat Hubula di Lembah Balim tetap menggunakan sege untuk mengolah tanah.
Meski peralatan bertani buatan pabrik seperti sekop, gampang ditemui di sejumlah toko di Kota Wamena, masyarakat di Lembah Balim tetap menggunakan sege. Sekop memang jamak dipakai, hanya untuk bagian menggemburkan tanah atau menyiangi rumput.
Sege dipakai untuk mengungkit permukaan tanah. Setelah tanah terangkat, bagian permukaan yang ditumbuhi rumput dibalik, ditaruh di bagian bawah.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR