Biasanya perlu dua hingga tiga orang mengungkit sebidang tanah secara bersamaan, dengan masing-masing sege. Ujung sege yang runcing masuk ke dalam tanah. Saat tanah terangkat, satu orang lain akan menerima dan membalik tanah itu.
Membalik permukaan tanah dengan sege itu mirip mencangkul, hanya ukuran bongkahan tanah besar. Karenanya urusan kebun dalam tradisi masyarakat pegunungan, dikerjakan secara kolektif dan terorganisasi.
Memecah bongkahan tanah, membuat gembur dan disiapkan menjadi lahan, adalah pekerjaan perempuan. Demikian halnya untuk perkara menanam, merawat tanaman hingga panen.
"Dulu kebun masa tete (kakek) selalu besar", kenang Natalia Itlay, 30. Kebun besar berarti melibatkan pengorganisasian tim, alokasi waktu kerja dan ketersediaan bahan makan untuk para pekerja yang tidak sedikit.
Baca Juga: Internet untuk Warga Papua
Tabiat kerja masyarakat di Lembah Balim, Robert Gardner dan Karl G. Heider pernah mencatat, orang Dani (Hubula) sepertinya enggan menghabiskan waktu bersantai. Seorang laki-laki yang belum menikah memiliki kewajiban yang membuatnya sibuk membuka lahan kebun selama berhari-hari (Robert Gardner - Karl G. Heider, Garden of War: Life and Death in the New Guinea Stone Age, 1968).
"Tapi sekarang orang di sini berubah sejak banyak program pemerintah masuk, seperti otsus, raskin, pilkada dan dana kampong," jelas Natalia. Belakangan agak sulit menemukan orang yang mau kerja di kebun. Konon, belakangan laki-laki sibuk dengan obrolan politik dan program pemerintah. Kini kebun-kebun tak seluas dan sebesar seperti jaman tete.
Kini kecenderungannya perempuan yang mengerjakan kebun. Kebun-kebun dengan ukuran kecil. Sebab perempuan masih harus mengurus rumah dan keluarga, selain kebun. "Perempuan itu bekerja dari matahari terbit, hingga matahari terbenam di mata suami," ujar Natalia menjelaskan betapa beragamnya beban yang ditanggungkan perempuan di Lembah Balim di masa kini. Sebuah masa yang konon sudah mengalami program pembangunan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR