Peneliti: Selain Teknologi, Perlu Inovasi Sosial untuk Atasi Krisis Iklim

By National Geographic Indonesia, Senin, 6 Januari 2020 | 11:38 WIB
Ilustrasi dampak perubahan iklim. (leolintang/Getty Images/iStockphoto)

Sayangnya, inovasi perangkat keras tidak diimbangi dengan inovasi dalam masyarakat. Seperti yang terjadi saat ini.

Sejumlah besar uang publik dihabiskan untuk memajukan kedirgantaraan atau dunia farmasi, tetapi hanya sedikit inovasi yang dapat dilakukan untuk tuna wisma atau mengatasi rasa kesepian.

Di satu sisi, timbul kesenjangan kronis antara dinamika teknologi dan ekonomi, di sisi lain, muncul stagnasi sosial yang kerap memicu resistensi terhadap isu perubahan iklim.

Sebagai kepala unit strategi pemerintah Inggris, saya terlibat dalam merancang strategi perubahan iklim pada awal tahun 2000-an, ketika Inggris pertama kali berkomitmen melakukan pengurangan emisi karbon sebesar 60% hingga tahun 2050, yang kemudian meningkat menjadi 80%.

Kini, Inggris menargetkan emisi karbon nol.

Melihat ke belakang, kita meremehkan pentingnya inovasi dari bawah-ke-atas. Kita nyaman berbicara tentang pajak dan insentif, peraturan dan target. Tapi, kita tidak menyadari adanya alat-alat sosial untuk memobilisasi kreativitas massa - testbeds (pengujian sains) dan laboratorium, investasi dampak dan crowdfunding (pengumpulan dana), serta tantangan dan inovasi terbuka.

Alat sosial

Alat-alat sosial ini sekarang menjadi lebih umum, selain sains dan teknologi.

Sebagai contoh, percobaan untuk mencari tahu alasan apa yang paling berhasil membujuk orang untuk memasang insulasi di atap, menjadi vegetarian, atau beralih dari mengendarai mobil menjadi bersepeda. Contoh lain, munculnya organisasi sosial baru yang mencoba merancang lingkungan rendah emisi karbon, (seperti inisiatif desa ramah lingkungan bernama BEDZed di London) hingga aksi seluruh komunitas untuk menurunkan emisi mereka.

Tokoh-tokoh seperti presiden Barrack Obama dan Gubernur California, Gavin Newsom telah mendirikan kantor inovasi sosial.

Negara-negara seperti Malaysia dan Kanada telah memiliki strategi nasional untuk inovasi sosial.

Carlos Moedas, anggota komisi penelitian Uni Eropa, mengatakan di akhir tahun 2018, bahwa Uni Eropa akan berinvestasi lebih banyak untuk inovasi sosial “bukan karena trend, tetapi karena kami percaya bahwa masa depan inovasi ada pada inovasi sosial”.

Pergeseran pemahaman tentang inovasi sosial akan berdampak besar bagi transisi menuju ekonomi tanpa karbon.