Laut Tiongkok Selatan: Antara Nine Dash Line dan Deklarasi Juanda

By Daniel Kurniawan, Kamis, 8 April 2021 | 19:52 WIB
Peta Indonesia terukir di atas mosaik penjelajahan Bangsa Portugal di Lisbon. Foto dibuat dari atas. (Valentino Luis/Fotokita.net)

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan warisan ini, pulau-pulau di Indonesia terpisah oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh tiga mil dari garis pantai. Hal ini membuat kapal asing bebas berlayar di atas perairan laut Indonesia dan mengambil kekayaan lautnya.

Peta Wilayan NKRI Berdasarkan TZMKO 1939 (Asep Karsidi, dkk)

Pada 13 Desember 1957, Pemerintah Indonesia lewat Perdana Menteri, Ir. Djuanda mengeluarkan pernyataan unilateral yang hingga kini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Karena merasa dirugikan dengan adanya aturan sepihak ini, protes keras dilayangkan oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat sebagai balasan tuduhan pemerintah Indonesia bahwa telah ikut campur membantu pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi.

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam dataran Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang- Undang.”  —Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957