Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 29 Februari 2020 | 15:41 WIB
Serdadu Belanda dalam Aksi Polisional II, Desember 1948. (Gahetna/Het Nationaal Archief)

“Kita telah diserang,” demikian butir pertama dalam perintah kilat yang dinyatakan Letnan Jenderal Sudirman.

Sang Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia itu memberikan perintah kilat ketika berada di Istana Negara. Pertemuannya dengan Bung Karno begitu singkat, yang terjadi sekitar dua jam setelah pemboman Kota Yogyakarta dan penerjunan tentara Belanda di Maguwo pada pagi hari, 19 Desember 1948.

Perintah kilat itu sebagai pemantik bermulanya strategi Perang Gerilya. Sejarah mencatat, TNI bersama laskar rakyat bahu-membahu menghimpun kekuatan di tepian Kota Yogyakarta. Dari persoalan penyediaan logistik hingga penghimpunan informasi yang bersifat rahasia. Namun, dari sumber-sumber sejarah yang sampai kepada kita, sedikit sumber yang mengungkapkan peran pelajar dalam kegiatan spionase atau telik sandi.

Bagi pihak Belanda, peristiwa pemboman Kota Yogyakarta dan penerjunan tentara mereka di Maguwo itu dikenang sebagai Tweede Politionele Actie, atau Aksi Polisional Kedua. Namun, kita mengenangnya sebagai Agresi Militer Kedua.

Eddy Soekamto, berusia 84 tahun, menuturkan kenangannya sebagai telik sandi cilik sejak peristiwa kembalinya serdadu-serdadu Belanda yang menguasai ibu kota negara, Yogyakarta. Kini, dia menjabat sebagai Badan Penasihat Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta.

“Saat Agresi Militer Kedua dilancarkan oleh Belanda,” kenang Soekamto, “sekolahan diliburkan oleh pemerintah daerah Sri Sultan Hamengkubuwono.” Dia menambahkan, ketika itu usianya baru 13 tahun, berstatus sebagai pelajar SMP Perguruan Tamansiswa.

Baginya, sekolah yang diliburkan itu bukan berarti liburan melepas beban atau kesempatan mengelak tugas sebagai siswa. Liburan kali ini sungguh berbeda.

Dia memiliki kelompok belajarnya yang berasal dari beragam sekolah. Mereka direkrut sebagai telik sandi yang bertugas memberikan informasi kepada TNI tentang situasi dan kekuatan serdadu Belanda di dalam kota.

Baca Juga: Panglima Besar Dalam Tandu Itu Dikira Sri Sultan Hamengkubuwono

Pasukan gerilya Indonesia ketika bersiap melancarkan Serangan Umum 1 Maret. (dok. Intisari)

“Kita sebagai pelajar malu. Karena saya ini adalah dari SMP Perguruan Tamansiswa yang diberikan pengajaran kebangsaan,” demikian alasan Soekamto bersedia bertugas sebagai telik sandi. Perekrutan itu tidak hanya untuk sekolahnya, tetapi juga sekolah lain seperti sekolah Muhammadiyah dan Pangudiluhur.

“Saya adalah telik sandi dari SWK [Sub-Wehrkreise] 101 di bawah Letnan Satu Amir Murtono.” Buku-buku sejarah mencatat Amir sebagai wakil komandan SWK 101, yang kelak pensiun dengan pangkat mayor jenderal pada masa rezim Orde Baru.