Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 29 Februari 2020 | 15:41 WIB
Serdadu Belanda dalam Aksi Polisional II, Desember 1948. (Gahetna/Het Nationaal Archief)

Semenjak Agresi Militer Belanda bermula, TNI merancang Strategi Wehrkreise atau daerah perlawanan yang sejatinya diadopsi dari strategi Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Fungsinya, mempertahankan sebuah wilayah dengan kekuatan militer.

Sistem ini diyakini bisa menghalau kemungkinan serdadu-serdadu Belanda yang terpecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil sehingga bisa memasuki pedalaman Kota Yogyakarta. Strategi perang gerilya bisa saja masuk dalam salah satu strategi dalam wehkreise. Akan tetapi, wehkreise tidak dapat masuk dalam strategi perang gerilya.

Baca Juga: Nyaris Terlupakan, Balikpapan Menandai Pertempuran Akbar Penutup PD II

Jenderal Soedirman kala memimpin perang gerilya terhadap Agresi Militer II Belanda. (kodam14hasanuddin-tniad.mil.id)

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk dalam wewenang Divisi III. Brigade X yang bertanggung jawab atas keamanan kawasan ini pun berubah menjadi Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto.

Wehrkreise III dibagi menjadi beberapa Sub-Wehrkreise, salah satunya Sub-Wehrkreise 101—yang bertugas mengonsolidasi penyediaan perbekalan di setiap umum kampung, membuka dapur, menghimpun relawan medis, dan berperan sebagai pemberi petunjuk sasaran SWK lainnya. Kesatuan ini dipimpin oleh Komandan Letnan Satu Marsoedi, yang daerah pertahannya meliputi dalam Kota Yogyakarta.

“Kita ini kalau sebagai telik sandi masih pelajar nggak dicurigai,” ujar Soekamto. “Sambil main layangan sambil main neker, kita sambil mengamati berapa banyak tentara Belanda di Vredeburg, berapa banyak tentara di Hotel Tugu. Berapa banyak tentara yang ada di Pingit, berapa banyak tentara yang ad di Kota Gede. Dan itu kami laporkan.”

Tugas utama Soekamto dan kawan-kawannya adalah mengamati dan menghimpun informasi tentang kekuatan serdadu Belanda yang tersebar di tangsi-tangsi militer mereka.

Apakah selama bertugas dia dipersenjatai? “Kita telik sandi tidak dipersenjatai,” ujarnya. Kemudian dia melanjutkan sembari menunjuk pecinya yang dikenakannya, “Namun diberi otak dan rasa malu kalau kita tidak berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara.”

Baca Juga: Siapakah Miss Daventry, Perempuan dalam Pertempuran Surabaya 1945?

Eddy Soekamto dan Djuwariyah, keduanya pelaku sejarah dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Eddy bertugas sebagai telik sandi, sementara Djuwariyah bertugas sebagai penyelundup senjata. Keduanya hadir dalam acara 71 Tahun Semarak Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas komunitas sejarah Djogjakarta 1945. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Pelaporannya secara berantai,” imbuhnya. “Kalau langsung ya ketahuan.” Soekamto mengungkapkan satu persoalan bahwa Belanda juga memiliki banyak spionase yang beredar dan mengamati situasi gerilya. “Orang Indonesia itu banyak yang menjadi mata-mata hanya supaya bisa makan roti dan keju.”

Setiap kesatuan yang terlibat dalam rencana Serangan Umum 1 Maret 1949, biasanya memiliki spionase. Pelajar-pelajar itu mengawali pengabdiannya dalam senyap sebagai salah satu agen rahasia perintis di Indonesia. Kendati berusia belasan, mereka berdedikasi untuk selalu jujur dan dapat dipercaya.

“Tapi Alhamdulillah,” ujar Soekamto. “Pada waktu penyusupan TNI ke kota Yogyakarta, tidak ada satu pun mata-mata yang memberikan informasi kepada tentara Belanda.”  

Penyerbuan kota saat siang hari pada 1 Maret 1949 itu menjadi bagian dari perjalanan menuju Indonesia berdaulat. Kendati pasukan gerilyawan hanya menguasai kota selama enam jam, kabar yang tersiar ke penjuru dunia telah menunjukkan bahwa Republik ini masih ada. Kegagahan penerjunan dan pendudukan militer Belanda untuk meminang kembali permatanya yang hilang pun seketika berubah menjadi pertunjukan yang memalukan.