Tes Masif dan Pembatasan Sosial, Cara Cegah Penyebaran Corona di Indonesia Agar Tak Semakin Parah

By National Geographic Indonesia, Kamis, 19 Maret 2020 | 10:16 WIB
Ilustrasi virus corona yang menyerang organ tubuh ()

Penulis: Feri Latief

Nationalgeographic.co.id - Kasus Covid-19 di Indonesia meningkat drastis. Sejauh ini, sudah ada 1255 orang yang diperiksa-dengan jumlah terinfeksi positif 227 orang, negatif 1083 orang, pasien sembuh 11 orang dan meninggal 19 orang.

Kecepatan pemerintah menjalankan kebijakan social distancing atau pembatasan sosial, massive screening atau tes massal, serta isolasi diri, bisa menahan laju penyebaran virus corona dan bisa menurunkan angka kematian karena pandemi Covid-19.

Hal itulah yang disampaikan konsultan kesehatan masyarakat, Nurul Nadia, pada seminar dan diskusi daring yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Jakarta, Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) serta Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), pada Selasa (17/02/2020).

Nurul Nadia menyatakan, negara-negara yang berhasil mengatasi penyebaran wabah virus corona adalah yang berani mengambil kebijakan yang agresif--menelan pil pahit di bulan-bulan awal untuk akhirnya kembali pulih. Contohnya adalah Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona, LIPI Tutup Sementara Empat Kebun Raya

Dokter peraih beasiswa Fullbright tingkat master di Harvard School of Public Health ini menekankan bahwa pembatasan sosial seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo sangat berguna agar tidak semakin cepat penularannya.

Namun, agar  tepat sasaran, harus dilakukan surveillance, yaitu upaya untuk mengumpulkan data dari temuan kasus, menganalisa dan menginterprestasi secara sistematis dan berkelanjutan terhadap orang yang terpapar virus Covid-19. 

“Harus melakukan tes yang cukup banyak di masyarakat supaya bisa mencerminkan jumlah penyebaran yang ada di masyarakat. Saat ini, memang karena jumlah laboratoriumnya sangat sedikit, jadi surveillance-nya bisa dikatakan tidak mewakili keadaan yang ada di masyarakat saat ini,” jelas Nadia.

Surveillence sendiri bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan contoh acak di masyarakat atau tes masif. Cara yang dilakukan Korea Selatan ini terbukti efektif menurunkan jumlah orang tertular. Pemerintah setempat agresif melakuan massive screening virus corona dengan 20.000 orang perharinya. Sayangnya, di Indonesia belum melakukan hal ini.

Dari hasil surveillance, diketahui bahwa di Korea Selatan, Covid-19 ternyata banyak menyerang milenial yang berusia 20-29 tahun, sementara di Italia banyak menjangkiti mereka yang berusia 50-80 tahun. 

Untuk rapid test virus corona belum dilakukan di Indonesia. Saat ini, yang dilakukan adalah uji laboratorium, dengan metode PCR yang semuanya harus dikirimkan ke Balitbangkes. Yang jadi masalah, Balitbangkes memiliki keterbatasan sumber daya.

Kenapa data menjadi penting? Saat ini, Indonesia memiliki populasi tinggi penduduk yang berusia produktif, di mana mobilitas dan aktivitasnya juga tinggi. Kebijakan pembatasan social atau social distancing memang seharusnya ditargetkan ke orang-orang yang berusia produktif.

“Pemerintah bisa membuat kebijakan kerja dari rumah, kumpul-kumpul dan melarang acara-acara publik yang melibatkan usia produktif. Supaya jangan sampai mereka menulari orang yang daya tahan tubuhnya rendah dan menyebabkan penyebaran Covid-19 dan meningkatkan angka kematian,” tegas Nadia.

Sistem layanan kesehatan

Menurut Nadia, dari data sementara ini, kebanyakan infeksi Covid-19 bersifat ringan. Angka kematian meningkat kalau sistem layanan kesehatan tidak siap menghadapi lonjakan kasus.

Sebanyak 80,9% kasus infeksi Covid-19 hanya gejala ringan, cukup dirawat di rumah saja. 13,8% tergolong berat dan harus masuk rumah sakit. Sedang sisanya 4,7% kritis dan harus dirawat di Intensive Care UNIT (ICU).

Negara dengan sistem pelayanan yang siap angka kematiannya kurang dari 1%. Sedangkan, negara yang tidak siap, tingkat kematiannya mencapai 3.6%, dan rata-rata global 4.07 %. Tingkat kematian di Italia, Iran dan Indonesia sudah di atas rata-rata global, yaitu 7.71% (Italia), 6.11% (Iran) dan 8.3% (Indonesia) atau dua kali lebih tingkat kematian global.

Infeksi Covid-19 ini diperkirakan sudah menyebar di masyarakat dan dalam tahap community transmission atau penularan lewat komunitas. Saat ini, jumlah kasus sudah meningkat dan tidak diketahui rantai penyebarannya.

Tanpa intervensi dini berupa pembatasan sosial, tes massal dan karantina diri, maka kasus positif Covid-19 yang memerlukan layanan rumah sakit akan melonjak melebihi kapasitas. Hasilnya mudah ditebak: angka kematian makin tinggi.

Intervensi ini akan menekan puncak kurva menjadi lebih datar, yang berarti sistem layanan kesehatan akan siap menghadapi kasus Covid-19. Artinya juga akan menekan angka kematian.

Baca Juga: Karantina Wilayah Akibat Pandemi COVID-19, Polusi Udara Berkurang

Untuk mengurangi beban pada sistem layanan kesehatan atau tumpukan pasien di rumah sakit harus diberdayakan Puskesmas. Juga upaya merawat diri di rumah atau isolasi diri untuk kasus-kasus yang ringan. Rumah sakit memprioritaskan kasus sedang sampai berat. Kasus-kasus dengan gejala ringan sudah ada guidelinenya dari WHO: bisa dirawat di rumah.

Dan yang merasa sehat tetap tinggal di rumah agar tidak tertular dan menularkan orang lain. Karena 86% orang yang terpapar virus corona banyak yang tidak menunjukan gejala sama sekali alias minim gejala dan merasa sehat-sehat saja. Saat mereka keluar rumah tanpa sadar telah menyebar virus ke orang lain. Dan jika orang itu rentan dan punya masalah dengan system imunitas diri, maka ia akan jatuh sakit.