Perang terhadap Patogen: Pelajaran dari Sejarah untuk Lawan Corona

By Fikri Muhammad, Selasa, 24 Maret 2020 | 13:24 WIB
Miniatur Toggenburg Bible (Swiss) tahun 1411. Penyakit ini secara luas diyakini sebagai wabah, meskipun lokasi benjolan dan lepuh lebih konsisten dengan cacar. ()

Kaum Flagela di Belanda mencambuk diri mereka sendiri sebagai bentuk ekspresi damai, yang mempercayai bahwa Black Death adalah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa mereka, 1349. (Encyclopædia Britannica )

Saat ini Tiongkok dapat mengajarkan banyak pelajaran penting tentang virus corona ke seluruh dunia. 

Kerjasama internasional diperlukan juga untuk karantina yang efektif. Karantina dan penguncian sangatlah penting untuk menghentikan penyebaran epidemi. Walaupun banyak pemerintah yang ragu mengambil langkah ini. Timbul keraguan kalau sampai mengunci kota dapat meruntuhkan ekonomi. 

Yuval berpendapat bahwa suatu negara yang memiliki keyakinan bahwa negara lain akan membantu akan cenderung melakukan tindakan ini. Akan tetapi, kalau tidak mungkin, negara itu akan ragu sampai semuanya terlambat.

Hal yang patut disadari adalah bahwa penyebaran epidemi di negara manapun membahayakan seluruh spesies manusia. Ini karena virus berevolusi. Virus corona yang awalnya berasal dari hewan ketika melompat pada manusia ia beradaptasi dengan host manusia. 

Saat bereplikasi di dalam manusia, virus sesekali mengalami mutasi. Kebanyakan mutasi tidak berbahaya. Tetapi kemudian mutasi membuat virus lebih menular atau lebih tahan terhadap sistem kekebalan manusia. Jenis virus mutan seperti ini kemudian akan cepat menyebar dalam populasi manusia. 

Hal ini dikarenakan satu orang dapat menampung triliunan partikel virus yang mengalami replika secara terus menerus. Setiap orang yang terinfeksi memberikan peluag baru kepada triliunan virus untuk lebih beradaptasi dengan manusia. 

Ini bukan spekulasi menurut Yuval. Krisis Richard Preston di zona merah menggambarkan rantai peristiwa yang persis seperti itu dalam wabah Ebola 2014. Wabah dimulai ketika beberapa virus Ebola melompat dari kelelawar ke manusia. 

Virus-virus ini membuat orang sakit, tapi mereka masih beradaptasi untuk hidup di dalam kelelawar lebih daripada tubuh manusia. Apa yang mengubah Ebola dari penyakit yang relatif jarang menjadi epidemi adalah mutasi tunggal dalam gen tunggal dalam satu virus Ebola yang menginfeksi manusia. 

Pada suatu daerah di Makona, Afrika Barat mutasi ini memungkinkan galur Ebola mutan yang disebut galur Makona yang terhubung ke transporter kolesterol sel manusia. Jenis Makona ini empat kali lebih menular. 

Dalam melawan virus manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat. Bukan perbatasan antar manusia tapi dengan virus. Planet bumi bekerja sama dengan virus yang tak terhitung jumlahnya. Sementara virus baru terus berkembang karena mutasi genetik.

Batas yang memisahkan ruang virus dan manusia ini melintas pada tubuh manusia itu sendiri. Jika virus berhasil menembus perbatasan manapun di bumi, maka itu akan membahayakan seluruh spesies dunia.

Baca Juga: Kerja Dari Rumah Selama Wabah London, Newton Temukan Teori Gravitasi

Saat ini manusia mengalami krisis akut. Tidak hanya karena virus corona, tetapi juga kepercayaan diantara manusia. Untuk mengalahkan epidemi orang harus percaya para ahli ilmiah, warga negara perlu percaya otoritas publik, dan antarnegara harus saling percaya.

"Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri. Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi kemenangan virus terbesar," tulisnya.
 
Kemudian dia melanjutkan menulis kalimat pemungkas, "Ketika manusia berselisih—virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi juga terhadap semua patogen di masa depan."