Perang terhadap Patogen: Pelajaran dari Sejarah untuk Lawan Corona

By Fikri Muhammad, Selasa, 24 Maret 2020 | 13:24 WIB
Miniatur Toggenburg Bible (Swiss) tahun 1411. Penyakit ini secara luas diyakini sebagai wabah, meskipun lokasi benjolan dan lepuh lebih konsisten dengan cacar. ()

Nationalgeographic.co.id - Epidemi membunuh jutaan orang jauh sebelum era globalisasi. Pada abad ke-14, wabah Black Death menyebar dari Asia Timur ke Eropa Barat. Selama lebih dari satu dekade, wabah ini menewaskan 75 hingga 200 juta orang atau sekitar seperempat populasi Eurasia.

Sederet ilmuwan menduga bahwa penyebab wabah itu adalah erupsi dahsyat Gunung Samalas di Lombok, yang memengaruhi perubahan iklim global. Di Inggris, empat dari sepuluh orang meninggal. Sedangkan di Florence kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya.

Pada bulan Maret 1520 Francisco de Eguía menjadi satu-satunya orang yang membawa penyakit cacar dan mendarat di Meksiko. Pada Desember, epidemi cacar meluluh lantahkan Amerika Tengah yang menurut beberapa perkiraan membunuh sepertiga dari populasinya.

Padahal saat itu, Amerika Tengah tidak memiliki kereta, bus, atau bahkan keledai.

Baca Juga: Mengapa #DiRumahAja Bisa Membantu Menyelamatkan Nyawa Banyak Orang?

Umat manusia semakin rentan pada epidemi pada 1918. Jenis flu ganas yang disebut sebagai flu Spanyol itu menginfeksi setengah miliar jiwa.

Catatan sejarah memperkirakan bahwa flu Spanyol menewaskan 5% populasi di India, 14% di Tahiti, 20% di Samoa. Secara keseluruhan, flu Spanyol menewaskan puluhan juta bahkan lebih tinggi dari 100 juta jiwa dalam kurun waktu kurang dari setahun. Jumlah ini melebihi korban meninggal dunia yang tercatat pada Perang Dunia I.

Pertumbuhan patogen marak terjadi pada era yang semakin maju lantaran pertumbuhan populasi dan kemajuan transportasi. Yuval Noah Harari, sejarawan di Hebrew University of Jerusalem dan penulis buku laris Sapiens, menyebutkan bahwa karena jaringan transportasi, penularan virus jadi lebih cepat dibanding 1918. 

Patogen adalah mikroorganisme parasit yang dapat menyebabkan penyakit. Beberapa jenis patogen dapat melipatgandakan diri dan menyebabkan penyakit menular.

Virus adalah jenis patogen yang bisa menular dalam waktu kurang dari 24 jam dari Tokyo ke Meksiko. Meskipun pada abad ke-21 wabah mengerikan AIDS dan Ebola membunuh jiwa, perkara terpentingnya ialah bagaimana manusia bisa bertahan dari patogen melalui informasi. Demikian menurut Yuval dalam tulisannya bertajuk "In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership" yang terbit di laman TIME pada 15 Maret 2020.

The Black Death, lukisan cat air karya Monro S. Orr. (Monro S. Orr. )

Kemanusiaan memenangkan perang melawan epidemi karena ada perbedaan perlombaan sejata antara pantogen dan dokter. Patogen bergantung pada mutasi buta sementara dokter mengandalkan analisis informasi ilmiah.

Pada kematian wabah Black Death abad 14 orang tidak tahu apa yang menyebabkan penyakit itu terjadi dan bagaimana menyembuhkanya. Mereka biasanya menyalahkan penyakit pada amarah Tuhan, setan yang jahat, atau udara yang buruk.

Mereka tidak mempercayai keberadaan virus. Tidak ada yang menyangka bahwa setetes air mungkin bisa mengandung armada penyakit yang mematikan. 

Oleh sebab itu, ketika Black Death dan cacar datang, hal yang terbaik yang dipikirkan oleh pihak berwenang adalah mengorganisir doa-doa masal. Sementara yang terjadi ialah ketika orang-orang berdoa bersama mereka terinfeksi secara beramai-ramai.

Selama abad terakhir ini, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia mengumpulkan informasi dan sama-sama berhasil memahami mekanisme dibalik epidemi dan bagaimana cara mengalahkanya. 

Teori evolusi menjelaskan mengapa dan bagaimana penyakit baru bisa meletus dan penyakit lama menjadi lebih ganas. Seperti yang terjadi pada H1N1 flu Spanyol dan muncul lagi pada flu babi pada tahun 2009. Genetika memungkinkan para ilmuwan memata-matai instruksi patogen itu sendiri.

Hanya butuh waktu dua minggu bagi para ilmuwan untuk mengidentifikasivirus corona baru, mengurutkan genomnya dan mengembangkan tes yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi. 

Begitu para ilmuwan memahami apa yang menyebabkan epidemi maka menjadi lebih mudah bagi manusia untuk melawanya. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik di zaman kiwari. 

Pada tahun 1967 misalnya ketika cacar menginfeksi 15 juta orang dan membunuh 2 juta dari mereka. Lalu pada dekade berikutnya kampanye global vaksinasi cacar begitu berhasil. Sehingga pada 1979 WHO menyatakan bahwa umat manusia telah menang dan cacar sepenuhnya dapat diberantas. Sehingga pada 2019 tidak ada satupun orang yang terinfeksi atau terbunuh oleh cacar.

Baca Juga: Kerja Dari Rumah Selama Wabah London, Newton Temukan Teori Gravitasi

Lalu, apa yang diajarkan sejarah kepada kita untuk menghadapi virus corona saat ini?

Yuval Noah Harari meyiratkan pentingnya untuk melindungi diri sendiri dan benar-benar menutup diri dari segala interaksi. Itu pelajaran pertama.

Pelajaran kedua, sejarah menunjukan bahwa perlindungan nyata berasal dari berbagai informasi ilmiah yang dapat diandalkan dan ini dapat memicu solidaritas global. Ketika satu negara dilanda epidemi, ia harus berbagi informasi tentang wabah tanpa takut akan bencana ekonomi. Sementara negara lain harus memercayai informasi itu dan harus memberikan bantuan ketimbang mengucilkan orang lain. 

Kaum Flagela di Belanda mencambuk diri mereka sendiri sebagai bentuk ekspresi damai, yang mempercayai bahwa Black Death adalah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa mereka, 1349. (Encyclopædia Britannica )

Saat ini Tiongkok dapat mengajarkan banyak pelajaran penting tentang virus corona ke seluruh dunia. 

Kerjasama internasional diperlukan juga untuk karantina yang efektif. Karantina dan penguncian sangatlah penting untuk menghentikan penyebaran epidemi. Walaupun banyak pemerintah yang ragu mengambil langkah ini. Timbul keraguan kalau sampai mengunci kota dapat meruntuhkan ekonomi. 

Yuval berpendapat bahwa suatu negara yang memiliki keyakinan bahwa negara lain akan membantu akan cenderung melakukan tindakan ini. Akan tetapi, kalau tidak mungkin, negara itu akan ragu sampai semuanya terlambat.

Hal yang patut disadari adalah bahwa penyebaran epidemi di negara manapun membahayakan seluruh spesies manusia. Ini karena virus berevolusi. Virus corona yang awalnya berasal dari hewan ketika melompat pada manusia ia beradaptasi dengan host manusia. 

Saat bereplikasi di dalam manusia, virus sesekali mengalami mutasi. Kebanyakan mutasi tidak berbahaya. Tetapi kemudian mutasi membuat virus lebih menular atau lebih tahan terhadap sistem kekebalan manusia. Jenis virus mutan seperti ini kemudian akan cepat menyebar dalam populasi manusia. 

Hal ini dikarenakan satu orang dapat menampung triliunan partikel virus yang mengalami replika secara terus menerus. Setiap orang yang terinfeksi memberikan peluag baru kepada triliunan virus untuk lebih beradaptasi dengan manusia. 

Ini bukan spekulasi menurut Yuval. Krisis Richard Preston di zona merah menggambarkan rantai peristiwa yang persis seperti itu dalam wabah Ebola 2014. Wabah dimulai ketika beberapa virus Ebola melompat dari kelelawar ke manusia. 

Virus-virus ini membuat orang sakit, tapi mereka masih beradaptasi untuk hidup di dalam kelelawar lebih daripada tubuh manusia. Apa yang mengubah Ebola dari penyakit yang relatif jarang menjadi epidemi adalah mutasi tunggal dalam gen tunggal dalam satu virus Ebola yang menginfeksi manusia. 

Pada suatu daerah di Makona, Afrika Barat mutasi ini memungkinkan galur Ebola mutan yang disebut galur Makona yang terhubung ke transporter kolesterol sel manusia. Jenis Makona ini empat kali lebih menular. 

Dalam melawan virus manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat. Bukan perbatasan antar manusia tapi dengan virus. Planet bumi bekerja sama dengan virus yang tak terhitung jumlahnya. Sementara virus baru terus berkembang karena mutasi genetik.

Batas yang memisahkan ruang virus dan manusia ini melintas pada tubuh manusia itu sendiri. Jika virus berhasil menembus perbatasan manapun di bumi, maka itu akan membahayakan seluruh spesies dunia.

Baca Juga: Kerja Dari Rumah Selama Wabah London, Newton Temukan Teori Gravitasi

Saat ini manusia mengalami krisis akut. Tidak hanya karena virus corona, tetapi juga kepercayaan diantara manusia. Untuk mengalahkan epidemi orang harus percaya para ahli ilmiah, warga negara perlu percaya otoritas publik, dan antarnegara harus saling percaya.

"Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri. Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi kemenangan virus terbesar," tulisnya.
 
Kemudian dia melanjutkan menulis kalimat pemungkas, "Ketika manusia berselisih—virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi juga terhadap semua patogen di masa depan."