Nationalgeographic.co.id - Saat ini, dunia sedang berusaha untuk menahan penyebaran COVID-19. Para pemimpin pun mulai menerapkan kebijakan social distancing atau pembatasan sosial yang 'memaksa' orang-orang untuk menghindari tempat-tempat ramai dan berada dalam perkumpulan besar.
Presiden Jokowi sendiri telah meminta agar warga Indonesia mengurangi aktivitas di luar rumah sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran virus corona dan wabah COVID-19.
"Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020).
Pemerintah daerah juga telah melakukan beberapa kebijakan social distancing seperti meliburkan sekolah dan menutup tempat-tempat wisata, mengimbau perusahaan-perusahaan untuk menerapkan bekerja dari rumah (work from home), meniadakan kegiatan-kegiatan massal di tempat ibadah, hingga membatasi waktu operasional transportasi umum.
Meski mengisolasi orang-orang tidak langsung menghentikan pandemi, tapi cara ini diyakini para ahli dapat mengurangi angka penularan COVID-19--mencegah infeksi virus pada mereka yang masih sehat sehingga memberikan waktu bagi para petugas medis untuk menyembuhkan pasien positif.
"Terkadang, orang-orang merasa bahwa social distancing adalah hal yang sia-sia karena mereka tetap akan melakukan kontak dengan satu atau dua orang setiap harinya. Namun, mengurangi jumlah kontak sedikit apa pun sangat membantu," papar Damien Caillau, ahli primatologi dari University of California yang telah mempelajari hubungan antara interaksi sosial dengan risiko penyakit menular pada primata.
Saat pandemi COVID-19 terjadi, banyak orang bertanya acara dan pertemuan macam apa saja yang masih boleh didatangi. Namun, dilansir dari laman National Geographic, Samuel Scarpino, ahli pemodelan penyakit menular dari Northeastern University mengatakan bahwa: "tidak ada angka ajaib yang aman untuk sebuah perkumpulan".
Joshua Weitz, direktur program Quantitative Biosciences di Georgia Tech membuat model matematika yang menjawab pertanyaan: "seberapa besar kemungkinan seseorang terinfeksi COVID-19 dalam sebuah acara?"
Hasil pemodelannya menunjukkan bahwa jika ada satu orang saja yang memiliki COVID-19, maka ada kemungkinan 95% dari 15 ribu orang yang hadir di acara tersebut akan tertular. Risikonya akan menurun sebanyak 5% pada acara dengan peserta 250 orang.
Pada 10 Maret, Weitz mengunggah grafik model matematikanya di Twitter. Ia mengatakan: "Bagi para penyelenggara acara besar, harap pertimbangkan hal ini: peningkatan kasus #COVID19 berarti kemungkinan akan ada kasus positif di antara perkumpulan besar disertai dengan peningkatan risiko yang juga tinggi."
For organizers of large events, please consider the following: increases in #COVID19 cases means that soon (if not already), the chances of a positive case amongst a large pool of attendees (with all the consequences thereof) comes with increasing risk. pic.twitter.com/8W9pE2LY6P
Melihat ketidakpastian dalam prevalensi kasus COVID-19 yang ringan dan asimptomatik, Weitz mengatakan, sangat penting untuk mengurangi acara perkumpulan dan batasi kontak seminim mungkin--bahkan pada acara kecil sekali pun.
Dinamika penularan
Pada kenyataannya, banyak acara kecil yang sama berbahayanya dengan yang besar. Tidak hanya jumlah peserta, level penularan virus juga memengaruhi seberapa jauh dan luas itu akan menyebar.
Untuk menjelaskan fenomena ini, ahli epidemiologi menggunakan variabel yang disebut sebagai angka reproduksi, yaitu R0, yang dilafalkan "R-naught" atau R-zero. R0 mendeskripsikan seberapa banyak orang-orang bisa tertular virus dari mereka yang terinfeksi.
Sebagai contoh, R0 kita ilustrasikan pada pandemi flu Spanyol 1918 dan wabah Ebola 2014: yakni ketika individu menularkan virus kepada satu atau dua orang lainnya. Namun, sementara flu Spanyol menyebabkan pandemi, Ebola tidak terlalu menginfeksi banyak orang. Mengapa begitu?
Menurut Scarpino, ada satu perbedaannya, R0 flu Spanyol konsisten menularkan virus dari orang ke orang, sementara R0 Ebola lebih sporadis. Superspreader Ebola bisa menginfeksi 20-30 orang lainnya. Meski banyak yang sakit dalam satu waktu, tapi mereka tidak membawa virusnya lagi ke orang lain, berhenti di satu titik.
EPA
Pemerintah Tiongkok mengarantina Wuhan setelah virus corona merebak.
Perbedaan tersebut menunjukkan betapa perlunya isolasi diri. Walaupun detailnya sedang diteliti lebih lanjut, tapi R0 virus corona berkisar antara 1,5 hingga 4 orang. Satu orang positif COVID-19 dapat menularkan virus hingga ke empat individu lainnya.
Beberapa data mengungkapkan bahwa sifat penyebaran infeksi COVID-19 berada di tengah-tengah antara lonjakan sporadis Ebola dan laju stabil flu Spanyol.
Selain itu, novel coronavirus juga merupakan jenis baru sehingga kurangnya kekebalan di kalangan masyarakat membuat ukuran kelompok menjadi sangat penting. "Sejauh yang kita tahu, semua orang rentan terhadap COVID-19," ujar Scarpino.
Nilai dari ukuran yang kecil
Meski tanpa isolasi total, studi mengenai dinamika penyakit dalam kelompok menyatakan bahwa menyusutnya 'lingkaran sosial' dapat memberikan perbedaan besar. Beberapa hasil penelitian pada hewan pun menunjukkan hal serupa.
Pada 2004, Caillaud, peneliti dari UC Davis mempelajari wabah Ebola yang menyerang populasi gorila di Taman Nasional Odzala-Kokoua, Kongo. Gorila diketahui hidup dalam kelompok sosial dengan 10 individu yang meliputi lebih banyak betina dibanding jantannya. Sementara para betina hidup dalam kelompok, beberapa jantan tinggal sendiri.
Pola hidup tersebut ternyata memiliki dampak besar bagi para gorila di tengah wabah. Secara keseluruhan, Ebola menewaskan 95% gorila, dan kebanyakan adalah betina. Beberapa jantan berhasil selamat karena isolasi sosial mereka.
Studi ini memberikan hasil menarik: wabah Ebola berhenti pada titik di mana gorila masih tetap berhubungan satu sama lain, tapi dengan kepadatan yang lebih rendah.
Dalam konteks COVID-19 yang menyebar dengan cepat di kota-kota besar, pola pada gorila tersebut mengajarkan kita bahwa mengurangi ukuran kelompok dan menjaga jarak fisik satu sama lain dapat membantu mengatasi penyebaran penyakit.
"Pada kasus penyakit menular yang belum ada obatnya, jika ada ingin mengurangi jumlah kasus, maka social distancing menjadi satu-satunya cara," pungkas Caillaud.
KOMENTAR