Kelana Lestari: Raung di Situgunung

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 28 Maret 2020 | 16:52 WIB
Kelana Lestari, berkendara roda dua dari Jakarta menuju kawasan taman nasional. Program National Geographic Indonesia on Assignment ini didukung oleh Kawasaki. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Lewat tengah hari, roda-roda sepeda motor menuruni punggungan Bukit Bojongpilar, Bodogol. Tajuk-tajuk pohon menaungi perjalanan, sehingga gerimis tak kami rasakan. Hujan semalam membuat beberapa ruas jalan berlumpur ketika iring-iringan kami melintasinya. Kami menuju gerbang untuk keluar dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tepatnya, tujuan kami berada di balik puncak gunung itu.

Hari ini kami melanjutkan pengelanaan. Dari tepian barat taman nasional, kami menyusuri jalan raya tepian Gunung Gede untuk memasuki taman nasional di tepian selatannya, Situgunung. Kendati dua tempat itu dalam peta terpaut garis lurus sekitar 20 kilometer, kami harus menempuh perjalanan melingkar hampir 50 kilometer jauhnya.

Gumpalan-gumpalan awan hitam mulai menggelayuti langit-langit Gunung Gede Pangrango. Tim Kelana Lestari memacu sepeda motor untuk menghindari kemacetan di Jalan Raya Bogor-Sukabumi apabila hujan tiba.

Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Muhibah Menuju Kawasan Konservasi

Tim Kelana Lestari menyusuri jalan menurun di punggungan Bukit Bojongpilar, tepian Taman Nasional Gunun Gede Pangrango. (RICKY MARTIN/National Geographic Indonesia)

Perjalanan iring-iringan itu terpecah karena lalu lintas yang memadat ketika mendekati pusat kota Sukabumi. Setiap awak Kelana Lestari meliuk-liuk di antara kendaraan lain, mencoba mencari celah. Kami berharap bisa memacu tempo sepeda motor kami supaya tidak kemalamaan saat sampai di Situgunung.

Senja sudah meluntur. Lampu-lampu dan raungan sepeda motor kami membelah jalanan berbalut aspal menuju pintu masuk Situgunung di tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. "Motornya tangguh untuk menerjang bebatuan dan lumpur yang ada selama perjalanan,” kata Hasan Kholillurachman, awak Kelana Lestari yang mengendarai KLX-150. “Ketika di jalan beraspal pun tetap nyaman dikendarai"

Asep Suganda, selaku Kepala Resort PTN Situgunung yang juga merangkap sebagai jagawana, menyambut kedatangan Kelana Lestari. Kami minum the bersama sembari duduk-duduk di tangga kantornya. Kabarnya, waktu sore sampai jelang makan malam adalah waktu yang rawan dalam kehidupan manusia. Dan, minuman teh mampu menenteramkannya.

Jembatan Gantung Situgunung, menjadi jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara. Panjangnya 240 meter dan ketinggian dari lantai hutan 127 meter. (RICKY MARTIN/National Geographic Indonesia)

Sinar matahari pagi menembus tajuk pohon-pohon damar yang besar dan menjulang ke angkasa. Kami baru menyadari bahwa Glamping Camp Site, tempat kami bermalam berada di kawasan pohon-pohon damar bekas hutan tanaman industri.

Dua bukit yang dihubungkan jembatan gantung itu masih menyisakan pohon-pohon damar. Asep menerangkan kepada kami, “Setidaknya masih ada 6.700 pohon damar di Situgunung.” Kemudian Asep menambahkan, “Hutan yang sehat memiliki lebih dari tujuh spesies. Di sini, untuk rotan saja ada lima spesies—belum tanaman yang lainnya.”

Setelah tetesan hujan mereda di kawasan konservasi ini, raungan roda dua kami kembali menggema di sepanjang jalan menuju Danau Situgunung. Di sepanjang jalan menuju danau itu kami menjumpai tanaman endemik Puspa (Schimawalichi sp.) dan pohon rasamala (Altingia exelsa).