Kelana Lestari: Raung di Situgunung

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 28 Maret 2020 | 16:52 WIB
Kelana Lestari, berkendara roda dua dari Jakarta menuju kawasan taman nasional. Program National Geographic Indonesia on Assignment ini didukung oleh Kawasaki. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Danau alam itu berada di balik bukit tempat kami bermalam. Saat menuruni lembah, tim Kelana Lestari harus lebih waspada sepanjang jalan. Selain memiliki kelokan tajam, selepas hujan jalanan licin.

Sesuai namanya, Situgunung adalah danau yang berada di gunung. Lokasinya terimpit perbukitan. Apabila kita mengecek ketinggian tempat ini dengan gawai, layarnya akan menampilkan angka sekitar 1.100 meter. Danau seluas 3,5 hektare ini menghasilkan mata air sendiri. Menurut Asep, setidaknya terdapat 29 individu lutung budeng yang menghuni tepian danau ini.

Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Dua Roda Demi Memata-matai Pesinden Rimba

Situgunung berada di ketinggian 1.100 meter. Setelah berkendara menghadang angin, Kelana Lestari menghangatkan badan di api unggun. (RICKY MARTIN/National Geographic Indonesia)

Iring-iringan kami mendekati tepian danau. Suasana danau ini sepi, semenjak mitra taman nasional menutup bisnis penginapannya. Hanya ada satu warung kopi yang menjajakan juga kudapan dam mi instan. Pelanggannya pun satu, seorang misterius yang berbusana serba hitam dengan ikat kepala dan sarung warna biru. Namanya, Kang Dadin, yang ternyata seorang budayawan setempat.

“Konon kabarnya,” kata Kang Dadin membuka cerita, salah seorang keluarga dari Kerajaan Mataram sedang berjalan ke arah Banten.” Nama ningrat itu adalah Raden Rangga Sahadana, yang tengah dikejar-kejar kompeni dari Mataram menuju Banten. Dia membawa seorang istri yang sedang mengandung. Kemudian, mereka singgah di daerah ini untuk beristirahat. “Dia punya nazar, kalau anak yang dilahirkannya lelaki, akan dibikin sebuah danau.”

Kang Dadin melanjutkan, “Singkat cerita, bayi yang lahir itu laki-laki. Dikasih nama Raden Rangga Jagad Lulunta, yang kelak dikenal sebagai Mbah Jalun di sini. Danau ini sebenarnya hasil kerja ayahnya.”

Kami mencoba untuk memaknai dan menghargai kawasan ini seperti warga setempat memuliakannya. Karena perjalanan bagi kami adalah sebuah pembelajaran, bukan sekadar pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Kami berharap, kami mendapatkan sepasang mata yang baru untuk memahami ragam kehidupan, ketika kembali dari sini.

Pagi menjelang di Situgunung. Tampak Jembatan Gantung Situgunung yang menautkan dua bukit di tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. (RICKY MARTIN/National Geographic Indonesia)

“Setiap perjalanan pasti ada pembelajaran, hikmah intropeksi diri bisa melalui cara apapun,” ujar Benardi Mardatu, salah satu awak Kelana Letari. Selama perjalanan ini dia belajar hidup bersama kawan-kawan seperjalanan yang pencinta bumi.

“Kami mencari informasi tentang flora dan fauna yang mulai langka, menikmati alam dengan cara yang sederhana, bekerja dengan hati, diselingi ketawa-ketiwi dengan tubuh berkeringat, tanpa mengubah suasana yang hangat,” imbuhnya. Lalu dia dengan bangga mengungkapkan, “Begitulah Kelana Lestari dan National Geographic Indonesia On Assignment.”

National Geographic Indonesia On Assignment (NGIOA) menggelar perjalanan bersepeda motor ke tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Program ini bertajuk Kelana Lestari yang bergulir 14-16 Maret silam. Tujuan utamanya menyinggahi dan menyigi kawasan konservasi, sekaligus membangun kedekatan dengan warga dalam upaya pelestarian lingkungan.

Kelana Lestari, bagian dari perayaan 15 tahun kehadiran National Geographic Indonesia di Nusantara. Program ini didukung oleh Kawasaki dan sebagian didanai oleh keanggotaan Anda sebagai pelanggan majalah National Geographic Indonesia.