Syair Lampung Karam: Kesaksian Warga atas Kengerian Letusan Krakatau

By National Geographic Indonesia, Minggu, 12 April 2020 | 21:10 WIB
Anak Gunung Krakatau (Thinkstockphoto)

 

Gaduhlah orang di dalam negeri

Mengatakan datang kapalnya apiLalu berjalan berperi-periNyatalah Rakata empunya bunyi.......Riuh bunyi di dalam perahunyaBersahutan sama sendirinyaSeperti kiamat rupa bunyinyaRamailah orang datang melihatnya

Demikian petikan transliterasi Inilah Syair Lampung Karam Adanya karangan Muhammad Saleh bait ke-14 dan 16. Syair ini dikumpulan oleh Suryadi dan diterbitkan dalam Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.

Gunung Krakatau (disebut Rakata dalam syair ini) meletus hebat pada 27 Agustus 1883. Nyaris semua catatan kajian ilmiah dan bibliografinya dilaporkan oleh orang asing. Tidak ada kesaksian pribumi yang ada di sekitarnya.

Sampai akhirnya ditemukan sumber tertulis pribumi yang terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litografi) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 Hijriah (November 1883 - Oktober 1884) dengan edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu.

Hingga muncul edisi keempat yang berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya, bertarikh 10 Safar 1306 H (16 Okotober 1888). Muhammad Saleh sebagai pengarang menjelaskan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan 27 Agustus 1883.

Daerah macam Kitambang, Talang, Lampasing, Badak, Limau, hingga Merak, luluh lantak dilanda tsunami (yang dilaporkan hingga setinggi 40 meter), lumpur, hujan abu, dan batu. Betapa memilukan dan kacau situasinya saat itu. Tapi tidak sedikit yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil harta benda orang lain.

Dalam bait kesebelas syair itu, diceritakan bahwa aktivitas gunung dimulai sejak tiga bulan sebelumnya. "Terjadilah letusan yang amat dahsyat...gumpalan abu menyembur ke udara setinggi 70 kilometer, dibarengi dengan tsunami. Ombak setinggi 40 meter menyapu habis pantai sebelah Sumatra dan Jawa di kawasan selat Sunda," demikian penggambaran Suryadi yang sejumlah penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.

Dalam dua bait terakhir syair ini, ungkap Suryadi, pengarang si Muhammad Saleh mengaku sakit, sedih, dan sengsara karena bencana itu. Pikiran dan perasaanya tersiksa. Akibatnya ia merasa sekarat dan hampir meninggal. 'Hati di dalam sangat siksanya...terkena demam hampir matinya,'

Namun, diingatkan bahwa bisa juga penggambaran ini dilebih-lebihkan karena adanya ruang untuk berimajinasi. Meski demikian, si pengarang nampak menggambarkan semua ini dari mata batin dan pikirannya sendiri.

Kesaksian warga asingKengerian letusan Gunung Krakatau juga datang dari salah satu penumpang kapal Loudon yang lepas jangkar di Teluk Lampung. Ia merasakan gelombang perdana yang datang pasca-letusan.

"Kapal [Loudon] bertemu dengan kepala gelombang, Loudon terangkat dengan kecepatan yang memusingkan," kenang penyintas yang tidak disebutkan namanya itu.