Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 15 April 2020 | 22:40 WIB
Seorang lelaki menunjukkan tikus yang mati dari dalam bumbung rumah. Adegan program woningverbetering—pemberantasan tikus rumah, perbaikan, dan penggantian rumah dalam film propaganda berjudul De Pest Op Java, 1927. (Willy Mullens/NV HAGHE-FILM/EYE)

Nationalgeographic.co.id—Hujan rontok dari langit akhir 1910. Gerbong-gerbong kereta asal Surabaya yang mengangkut beras impor terpaksa berhenti di Turen, beberapa kilometer dari Malang. Kabarnya, tanah longsor menimbun lintasan rel kereta api. Akhirnya, karung-karung beras diturunkan dan disimpan di gudang Turen.

Tak seorang pun tahu bahwa dalam gerbong itu ada penyusup. Sekawanan tikus yang mengendap-endap. Tampaknya, satwa pengerat itu tak sengaja terangkut dari negeri asal beras itu, Burma. Semenjak saat itu tikus-tikus itu bergelayutan di rumah-rumah perdesaan di Malang. Celakanya, satwa itu juga memiliki penyusup di sekujur tubuhnya: kutu-kutu yang terinfeksi bakteri penyebab pes.

Seketika Malang digemparkan oleh pagebluk pes. Penyakit itu menjalar-jalar sepanjang 1911-1916. Korbannya mencapai lebih dari 30 ribu jiwa! Pada tahun-tahun berikutnya, pagebluk itu berlanjut ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Ada sederet respons dalam pagebluk itu yang tampaknya berulang pada masa pagebluk sekarang—kendati dalam konteks dan skala yang berbeda. Pagebluk beriringan dengan munculnya hoaks atau kabar dusta. Berikutnya, fenomena xenofobia, perasaan benci terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal. Kemudian, timbulnya sentimen rasialisme, prasangka berdasar keturunan bangsa atau perlakuan berat sebelah kepada suku bangsa yang berbeda-beda.

Baca Juga: Burung-Burung Surgawi Pelipur Lara Pandemi

()

Syefri Luwis, peneliti sejarah, mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia adanya sejarah yang berulang dari pagebluk silam dan pagebluk mutakhir.

Awalnya, ujar Syefri, pemerintah Hindia Belanda menyangkal bahwa impor beras adalah biang keladi wabah pes yang berkecamuk hebat di Malang. Pemerintah justru menuduh bahwa orang-orang yang berhaji itulah pembawa penyakit pes. Tuduhan itu manjur karena pada 1911 pemerintah membangun karantina haji di Pulau Onrust dan Pulau Cipir, Teluk Batavia.

"[Tempat itu] untuk karantina orang-orang yang pulang haji karena dianggap pembawa penyakit pes," kata Syefri. “Cuma kenyataannya, pes masuk bukan lewat Tanjungpriok Batavia, melainkan Tanjungperak Surabaya.” Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda melemparkan tuduhan tidak berdasar atau kabar dusta pada orang-orang yang pulang berhaji.

"Selain orang-orang yang pulang haji, tuduhan penyebar pes adalah orang-orang yang datang dari Tiongkok. Sentimen rasialisme," ujarnya. "Selalu muncul sentimen rasialisme karena pemerintah kolonial tidak mau disalahkan karena impor beras."

Baca Juga: Sejak 1976, Sejarawan Ini Sudah Peringatkan Soal Pandemi dari Mutasi Virus Influenza

Dokter Eropa dan Jawa bertugas bersama dalam vaksinasi di sebuah desa di Jawa. (Neville Keasberry)