Nationalgeographic.co.id—Hujan rontok dari langit akhir 1910. Gerbong-gerbong kereta asal Surabaya yang mengangkut beras impor terpaksa berhenti di Turen, beberapa kilometer dari Malang. Kabarnya, tanah longsor menimbun lintasan rel kereta api. Akhirnya, karung-karung beras diturunkan dan disimpan di gudang Turen.
Tak seorang pun tahu bahwa dalam gerbong itu ada penyusup. Sekawanan tikus yang mengendap-endap. Tampaknya, satwa pengerat itu tak sengaja terangkut dari negeri asal beras itu, Burma. Semenjak saat itu tikus-tikus itu bergelayutan di rumah-rumah perdesaan di Malang. Celakanya, satwa itu juga memiliki penyusup di sekujur tubuhnya: kutu-kutu yang terinfeksi bakteri penyebab pes.
Seketika Malang digemparkan oleh pagebluk pes. Penyakit itu menjalar-jalar sepanjang 1911-1916. Korbannya mencapai lebih dari 30 ribu jiwa! Pada tahun-tahun berikutnya, pagebluk itu berlanjut ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Ada sederet respons dalam pagebluk itu yang tampaknya berulang pada masa pagebluk sekarang—kendati dalam konteks dan skala yang berbeda. Pagebluk beriringan dengan munculnya hoaks atau kabar dusta. Berikutnya, fenomena xenofobia, perasaan benci terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal. Kemudian, timbulnya sentimen rasialisme, prasangka berdasar keturunan bangsa atau perlakuan berat sebelah kepada suku bangsa yang berbeda-beda.
Baca Juga: Burung-Burung Surgawi Pelipur Lara Pandemi
Syefri Luwis, peneliti sejarah, mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia adanya sejarah yang berulang dari pagebluk silam dan pagebluk mutakhir.
Awalnya, ujar Syefri, pemerintah Hindia Belanda menyangkal bahwa impor beras adalah biang keladi wabah pes yang berkecamuk hebat di Malang. Pemerintah justru menuduh bahwa orang-orang yang berhaji itulah pembawa penyakit pes. Tuduhan itu manjur karena pada 1911 pemerintah membangun karantina haji di Pulau Onrust dan Pulau Cipir, Teluk Batavia.
"[Tempat itu] untuk karantina orang-orang yang pulang haji karena dianggap pembawa penyakit pes," kata Syefri. “Cuma kenyataannya, pes masuk bukan lewat Tanjungpriok Batavia, melainkan Tanjungperak Surabaya.” Tampaknya, pemerintah Hindia Belanda melemparkan tuduhan tidak berdasar atau kabar dusta pada orang-orang yang pulang berhaji.
"Selain orang-orang yang pulang haji, tuduhan penyebar pes adalah orang-orang yang datang dari Tiongkok. Sentimen rasialisme," ujarnya. "Selalu muncul sentimen rasialisme karena pemerintah kolonial tidak mau disalahkan karena impor beras."
Baca Juga: Sejak 1976, Sejarawan Ini Sudah Peringatkan Soal Pandemi dari Mutasi Virus Influenza
Kebetulan, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, banyak pendatang asal Tiongkok didatangkan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan-perkebunan milik orang Eropa, umumnya di pantai timur Sumatra. Ketika Politik Etis digembar-gemborkan, sentimen rasialisme anti-Cina justru memuncak. Pasalnya, para penganjur politik balas budi itu terselimuti stigma bahwa orang Cina identik dengan keserakahan. Orang-orang Eropa yang mendukung Politik Etis memiliki pemikiran untuk memberikan perlindungan kepada bumi putra.
"Orang Cina pada zaman itu xenofobia sama orang Eropa, dan sebaliknya," kata Agni Malagina, peneliti budaya Cina. "Dan pada masa itu terjadi banyak hal yang menginterupsi seperti masalah politik, persamaan hak, dan lain-lain." Orang-orang Cina memiliki kekuatan dalam ekonomi dan pers. Sementara itu orang Belanda selalu cari cara menjatuhkan karena mereka takut sama dominasi Cina, demikian hemat Agni.
Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengakui bahwa Jawa kekurangan beras sehingga perlu impor. Padahal, pada kenyataannya pasokan beras di Jawa memang menyusut. Selain paceklik pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syefri, meluasnya perkebunan swasta telah menggeser tanah milik rakyat. Awalnya tanah itu ditanami padi, berubah menjadi tanaman perkebunan. Akibatnya, sawah yang mencetak padi-padi itu pun menyusut.
Baca Juga: John Verbeek Menyingkap Coretan dan Bungker Militer Belanda di Cisauk
Hari ini kita menjumpai respons yang mirip ketika pagebluk COVID-19 berjangkit dari Tiongkok ke Indonesia, dan sederet negara-negara maju. Ada perlakuan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada orang-orang Cina di beberapa negara hanya karena virus bermula dari salah satu provinsi di Tiongkok. Seorang kawan bercerita, tukang sayurnya sampai menjaga jarak dengan orang-orang Tionghoa hanya karena virus berasal dari Tiongkok. Untungnya, kesalahpahaman ini segera mereda.
Namun, fenomena xenofobia masih terasa ketika awal pagebluk ini di Indonesia. Tagar #TolakSementaraTurisChina melayang-layang di linimasa Twitter, yang disertai ujaran ketidaksenangan. Pada akhir Januari silam, warga Bukittinggi-Agam menolak kedatangan seratusan pelancong asal Tiongkok yang tengah singgah di Sumatra Barat. Mereka membentangkan spanduk penolakan di depan hotel tempat para pelancong asal Tiongkok itu bermalam. Beberapa hari kemudian terjadi penolakan warga Natuna atas kedatangan warga negera Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan. Warga Natuna menolak daerahnya menjadi tempat karantina. Kendati diawali dengan baku hantam, toh pada akhirnya mereka berdamai saat pendatang itu berpamitan pulang.
Baca Juga: Tan Pek Hau 'Sang Kungfu Master' Legendaris Asal Kabupaten Tegal
Berita hoaks pun berseliweran di grup-grup aplikasi kirim pesan. Pada awal Februari, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat menepis berita-berita dusta yang beredar di media sosial seperti: HP Xiaomi buatan Tiongkok dapat menularkan virus Corona, virus Corona sengaja disebarkan rezim Tiongkok untuk membasmi umat Islam di Wuhan, wudhu bisa hancurkan virus Corona, dan masih sekitar empat lusin hoaks lainnya.
Rasialisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai penjuru Bumi. Orang-orang Cina telah dilabeli oleh penduduk di berbagai negara sebagai pembawa virus corona. Bahkan, di negara berperadaban maju seperti Jerman, ada saja dokter yang sampai menolak memeriksa pasien asal Tiongkok. Selama pagebluk, Komisi HAM Australia telah menerima banyak laporan resmi diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada komunitas Asia di negeri itu. Ini secuil contoh yang terjadi di luar Indonesia.
Rasialisme adalah bencana kemanusiaan. Apabila kita tidak memahami peristiwa bencana kemanusiaan pada masa silam, barangkali peristiwa itu akan menghajar kita kembali pada lain kesempatan. Ketika bencana itu terjadi berulang, akankah kita masih menyebutnya sebagai tragedi atau sebuah lelucon belaka?