Bisakah Musim Panas Membantu Kalahkan COVID-19? Ini Kata Ilmuwan

By Daniel Kurniawan, Kamis, 16 April 2020 | 10:43 WIB
Para ilmuwan percaya cuaca hangat dapat membawa wawasan baru ke dalam coronavirus ()

Nationalgeographic.co.id - Sejak masa-masa awal wabah, COVID-19 diperkirakan tidak tahan pada suhu tinggi. Epidemi flu cenderung mereda saat musim dingin berakhir, tapi apakah sinar matahari juga dapat memengaruhi perilaku virus corona dan penyebarannya?

Studi awal terhadap coronavirus lain--varietas umum yang menyebabkan pilek di Inggris--menunjukkan bahwa ia terpengaruh pola musiman. Puncaknya terjadi selama musim dingin dan menghilang di musim semi. Sebaliknya, hanya sejumlah kecil virus corona yang ditularkan pada musim panas.

Di sisi lain, sebuah studi kunci dari coronavirus yang umum--HCoV-NL63, HCoV-OC43 dan HCoV-229E--diterbitkan minggu lalu oleh para ilmuwan di University College London. Dengan menganalisis sampel yang dikumpulkan beberapa tahun lalu, mereka menemukan tingkat infeksi coronavirus yang tinggi pada Februari, sementara di musim panas sangat rendah.

Baca Juga: Peneliti Berlomba-lomba Membuat Vaksin Corona, Sudah Sejauh Apa Perkembangannya?

Meski begitu, penulis utama studi itu, Rob Aldridge, memperingatkan: “Kita bisa melihat tingkat yang lebih rendah dari penularan virus corona di musim panas, tetapi ini mungkin berbalik di musim dingin jika masih ada populasi yang rentan pada saat itu,” katanya.

“Dan mengingat ini adalah virus baru, kami tidak tahu apakah pola musiman akan bertahan selama musim panas mengingat tingkat kerentanan yang tinggi dalam populasi. Untuk alasan ini, sangat penting bagi kita semua untuk bertindak mengikuti saran kesehatan terkini," imbuhnya. 

Poin ini didukung oleh ilmuwan lain, yang memperingatkan bahwa virus COVID19 adalah agen infeksi yang sama sekali baru sehingga tidak ada peluang bagi populasi untuk membangun kekebalan apa pun. Akibatnya, kemungkinan akan terus menyebar meski di musim panas. 

"Saya yakin musim akan memainkan peran dalam penyebaran virus corona. Namun, dibandingkan dengan efek yang kita miliki dengan jarak sosial, itu akan memberikan pengaruh yang sangat kecil. Ini mungkin menghasilkan beberapa efek marjinal tetapi ini tidak akan menjadi pengganti isolasi diri," papar ahli virus Michael Skinner di Imperial College London.

Ilustrasi cuaca panas. (batuhan toker/Getty Images/iStockphoto)

Ben Neuman, peneliti dari Universitas Reading lebih tegas: “Virus ini dimulai dalam kondisi yang hampir beku di Tiongkok, dan berkembang pesat baik di Islandia maupun di garis khatulistiwa di Brasil dan Ekuador. Saat musim dingin berubah menjadi musim semi, pertumbuhan virus telah meningkat di seluruh dunia. Ini bukan Perang Dunia, dan tidak ada deus ex machina untuk menjangkau keluar dari awan dan meluruskan ini. Kita harus mengalahkan virusnya sendiri.”

Kedatangan musim semi tidak hanya memengaruhi perilaku virus, ini juga menghasilkan perubahan dalam sistem kekebalan tubuh manusia, peneliti lain menunjukkan. "Sistem kekebalan tubuh kita menampilkan ritme harian, tetapi yang kurang diketahui adalah bagaimana ini bervariasi dari musim ke musim," kata ahli imunologi Natalie Riddell di Surrey University.

Untuk mengetahuinya, Riddell dan peneliti lain di Universitas Surrey dan Columbia telah mempelajari perubahan kekebalan pada manusia di musim yang berbeda dan waktu yang berbeda dalam sehari. Sampel biologis diambil dari sukarelawan di wilayah musim dingin dan musim panas serta ekuinoks musim semi dan musim gugur.