Memahami Kepahlawanan Kartini Melalui Surat-suratnya

By National Geographic Indonesia, Selasa, 21 April 2020 | 11:11 WIB
Raden Ajeng Kartini (Wikimedia Commons)

Dalam suratnya, Kartini dapat bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri.

Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, tentang bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.

Sejumlah buku pun dibahas Kartini bersama Stella dalam surat-suratnya. Misalnya saja, untuk bercerita mengenai kondisi mengenaskan Bumiputera yang dijajah, Kartini mengambil buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai referensi.!break!

Surat-surat tidak hanya ditulis Kartini kepada Ovink-Soer dan Stella. Kartini juga menulis surat kepada sejumlah sahabat, salah satunya Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Kelak, JH Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku itu diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Didukung Politik Etis

Salah satu latar belakang yang menjadikan Kartini dikenal sejarah seperti sekarang adalah berkat Politik Etis yang dijalankan Kerajaan Belanda. Politik ini lahir di Hindia Belanda sebagai kritik terhadap politik tanam paksa yang kemudian berhenti pada 1870.

Politik Etis mengedepankan sikap balas budi Belanda terhadap rakyat di negara jajahan. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan pendidikan. Karena itu, pendidikan menjadi isu penting di lingkungan pergerakan, termasuk pergerakan di kalangan Bumiputra.

Dalam buku Kartini, Sebuah Biografi (1977) yang ditulis Sitisoemandari Soeroto, JH Abendanon diketahui sebagai salah satu tokoh penggerak Politik Etis di Hindia Belanda. Karena itu tidak heran jika pemikiran Kartini melalui surat-suratnya juga tersebar hingga ke Belanda berkat JH Abendanon dan politisi berhaluan liberal Belanda.

Tidak hanya itu, munculnya Politik Etis dapat juga dianggap sebagai masa transisi, beralihnya perjuangan fisik melalui peperangan ke perjuangan nonfisik seperti diplomasi dan pemikiran.

Sebab, Politik Etis dianggap membuka keran yang memungkinkannya kalangan Bumiputra untuk menempuh pendidikan di Belanda.

Sejarah kelak mencatat, sejumlah mahasiswa Indonesia yang kemudian bersekolah di Belanda, menjadi tokoh pergerakan yang memelopori kemerdakaan dan berdirinya Republik Indonesia.