Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 12 Mei 2020 | 23:14 WIB
Jiwa kota bersemayam di bangunan-bangunan tuanya. Benteng Kedungcowek bagian dari cerita dan sejarah kota. Warga sadar, tanpa jejak bangunan pertahanan militer ini, mereka akan lupa tentang riwayat dan jiwa kota mereka. (National Geographic Indonesia)

Sebelumnya, surat kabar De Locomotief pada 30 Maret 1900 melaporkan penunjukkan Kapten Zeni Proper sebagai penanggung jawab pembangunan benteng.

Secara berkala, beberapa surat kabar kerap memberitakan perkembangan pembangunan benteng. Pada 29 November 1901, De Sumatra Post melaporkan bahwa Kustbatterij Kedoeng-Tjowek sudah mulai tampak bentuknya. Baterai pantai Kedung Cowek diperkirakan selesai bulan Februari dan dana sebesar lima juta gulden disiapkan untuk pengadaan meriam-meriam artileri.

Kemudian, arsip surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad pada 15 Juli 1902, menuliskan: “Hari ini tiga meriam pantai berkaliber 150 milimeter diturunkan dan dipasang di baterai Kedungcowek.”

Baca Juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting

Benteng Modern Pertama di Surabaya, artikel pendek di National Geographic Indonesia edisi September 2019. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pemugaran benteng Kedungcowek dengan konstruksi beton dimulai pada akhir 1903, diberitakan pada surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad. Alasannya, konstruksi lamanya kurang kuat untuk menahan serangan artileri laut paling baru. Benteng ini dipugar sebagian sehingga masih menyisakan sebagian konstruksi lamanya.

“Banyaknya berita tentang Benteng Kedungcowek yang dimuat ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian serius saat itu,” ujar Ady.

Ya, Benteng Kedungcowek memiliki peran penting dalam Pertempuran Surabaya 1945. Benteng ini menyimpan meriam, peluru dan beragam alat persenjataan lainnya. Ketika kapal-kapal Inggris menembaki Kota Surabaya pada November 1945, mereka terkejut karena mendapat perlawanan sengit dari arah Benteng Kedungcowek. Dari kualitas tembakan artileri, Inggris mengira para pelakunya itu adalah tentara Jepang. Namun, ternyata itu dari Batalion Sriwijaya (pejuang Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho).

Lebih dari sepertiga pasukan Sriwidjaja tewas di dalam benteng itu. Mereka bahkan tidak sempat dikuburkan.

“Para pejuang ini telah memberikan yang terbaik yang mereka punya. Mereka gugur tanpa nama, tanpa wajah, dan tanpa nisan,” ungkap Ady.

Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC

Penampang melintang konstruksi baterai pesisir Kedungcowek di Surabaya. (Nationaal Archief, Den Haag)

Menurut Ady, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membalas jasa mereka adalah dengan melestarikan Benteng Kedungcokwek yang menjadi saksi perjuangan warga Surabaya. Sejak 2010, Ady dan rekan-rekannya telah mengupayakan hal tersebut: dimulai dengan meninjau lokasi, menggali literatur, mewawancarai saksi, hingga melakukan sosialisasi terkait Benteng Kedungcowek.

Pada 2015, peluncuran buku Benteng-benteng Surabaya menjadi pembahasan di media cetak dan online. Kemudian, pada 3 Desember 2015, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya mulai mempertimbangkan agar Benteng Kedungcowek bisa dijadikan cagar budaya.

Baca Juga: Baca Juga: Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai "Kota Tahi"

 

Arsip Surat Kabar De Sumatra Post 29 November 1901: Benteng mulai tampak bentuknya. Baterai pantai Kedung Cowek diperkirakan selesai bulan Februari dan dana sebesar lima juta gulden disiapkan untuk pengadaan meriam-meriam artileri. (Nationaal Archief, Den Haag)

Setelah penetapan sebagai cagar budaya, kini perjuangan selanjutnya adalah merevitalisasi Benteng Kedungcowek. Menurut Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga yang kini menimba ilmu di Universitas Leiden, perlu peran beberapa pihak dalam upaya pelestarian cagar budaya. Di antaranya, para ahli, birokrat, politisi, praktisi, hingga masyarakat sekitar.

“Mereka lah aktor-aktor penting dalam proses pelestarian. Tidak ada yang lebih unggul, semuanya berperan penting dan terhubung,” kata Adrian, yang juga menjadi pembicara dalam acara diskusi daring ini.

Para ahli atau akademisi bisa menyediakan kajian tentang heritage, praktisi tentang upaya restorasi dan pemugaran, birokrat terkait regulasi, serta politisi diharapkan dapat mewakili dan menyuarakan pendapat warga. Dan yang terakhir, masyarakat awam yang memiliki minat besar pada cagar budaya juga dapat membantu proses penetapan hingga pelestarian cagar budaya.

“Masyarakat yang tinggal di sekitar sana mungkin punya ide untuk menjadikan Benteng Kedungcowek sebagai sarana edukasi, nah itu harus dibicarakan juga dengan aktor-aktor lain seperti para ahli, birokrat, politisi, dan praktisi tadi,” papar Adrian.

Baca Juga: Benteng Van Den Bosch: Sang Penjaga Jalur Sungai Bengawan Solo

Salah satu meriam yang terpasang di baterai pesisir Kedungcowek di Surabaya pada awal abad ke-20. Jepang mendata persenjataan di benteng ini pada 1942: 5 buah meriam kaliber 150 milimeter, 3 buah meriam kaliber 75 milimeter, 2 meriam penangkis serangan udara berkaliber 40 milimeter, dan 2 meriam target diam. (Ady Erlianto Setyawan/Roode Brug Soerabaia)