Saat Wabah Kolera Picu Pemerintah untuk Membangun Ruang Terbuka Hijau

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 26 Mei 2020 | 15:22 WIB
Central Park, kota New York, AS, salah satu taman kota yang dianggap maju dan menjadi lokasi interak (Zika Zakiya)

Carr, yang baru saja selesai menulis buku The Topography of Wellness: Health and the American Urban Landscape, mengatakan bahwa jalanan yang panjang mengurangi penumpukan air dan memudahkan pemasangan saluran air minum serta pipa pembuangan.

Taman sebagai penunjang

Pendukung teori miasma lainnya, arsitek lanskap Frederick Law Olmsted, mengadvokasi kekuatan taman sebagai penyembuh. Perlu “paru-paru perkotaan” sebagai penyaring udara kotor sekaligus saluran udara murni.

Menurut Carr, Olmsted dalam tulisannya, sering membahas tentang pentingnya ruang terbuka sehingga memungkinkan orang-orang mengakses udara segar. Olmsted juga mengatakan bahwa kota bisa didesinfeksi oleh sinar matahari dan dedaunan.

Perencanaan Central Park, yang dirancang Olmsted dan Calvert Vaux, langsung dimulai setelah wabah kolera kedua New York. Berkat keberhasilan proyek tersebut, Olmsted yang anaknya meninggal akibat kolera, kemudian merancang lebih dari 100 taman umum dan tempat rekreasi lagi di Boston, Buffalo, Chicago, dan Detroit.

Frederick Law Omsted. (Fotosearch/Getty Images)

Baca Juga: Emisi Karbon di Bulan April Menurun 17% Berkat Karantina Wilayah

Di seberang Selat Inggris, Kaisar Napoleon III memimpin Prancis pada 1848 saat wabah kolera berlangsung dan merenggut nyawa sekitar 19 ribu warga Paris.

Pengagum taman dan alun-alun kota, keponakan Napoleon Bonaparte, berusaha membuat Paris pulih kembali setelah pandemi.

“Mari kita buat jalanan baru yang lebih sehat dan biarkan sinar matahari mencapai dinding-dinding rumah kita,” ungkapnya.

Di bawah arahan Baron Georges-Eugène Haussmann, pemerintah Prancis merobohkan 12 ribu bangunan—menggantinya dengan perluasan jalan, taman, memasang air mancur, dan membuat sistem pembuangan yang lebih baik. Mengubah Paris menjadi “Kota Cahaya”.