Mengapa Kita Membuat Bahasa Baru Selama Pandemi Virus Corona?

By Fikri Muhammad, Senin, 1 Juni 2020 | 12:21 WIB
Ilustrasi. (ijnet.org)

Nationalgeographic.co.id - Sepanjang sejarah, keadaan telah memunculkan cara-cara baru untuk mengekspresikan tantangan dalam hidup. George Eliot, penulis abad ke-19 yang kesal dengan gender kaku dan norma-norma gaya hidup, dikreditkan sebagai yang pertama menggunakan kata 'frustrating'. Baru-baru ini, Brexit juga memunculkan banyak kata baru, seperti 'bremain', 'bregret', dan 'backstop'.

Selain itu, banyak istilah baru yang populer di Inggris berkaitan COVID-19 dewasa ini, seperti 'virtual happy hour', 'covideo party' dan 'quarantine and chill'.

Banyak pula yang menggunakan 'corona' sebagai awalan, seperti coronababies (anak-anak yang lahir atau dikandung selama pandemi) akan berlaku. Dan, tentu saja, ada singkatan, seperti 'WFH' di mana-mana dan 'APD' yang menyelamatkan jiwa.

Baca Juga: Menyelamatkan dan 'Mengadopsi' Barista Korban PHK Lewat Gerakan Barista Asuh

Robert Lawson, seorang sosiolog di Birmingham City University mengaitkan hal ini dengan beberapa faktor yakni cepatnya virus menyebar dan dominasinya di jagat media sosial, ungkapnya pada BBC.

Menariknya, menurut Fiona McPherson, Editor senior Oxford English Dictionary (OED) bahwa kata baru yang ditambah di kamus hanyalah "COVID-19". Selebihnya ialah istilah yang sudah ada sebelumnya namun memperoleh resonansi baru. Seperti 'stay-at-home order' (US), 'movement control order' (Malaysia), atau 'enchanced community quarantine' (Filipina).

Peggunaan metafora perang seperti 'medan pertempuran' dan 'garis depan' juga sering disebut selama masa pandemi ini. Ini yang disebut McPherson sebagai "nuansa kata-kata yang sudah ada".

Inés Olza, ahli bahasa di Universitas Navarra di Spanyol, mengatakan bahwa contoh metafora perang, terutama pada awal pandemi telah membangun persatuan dan mobilisasi yang cepat sehingga bermunculan tagar gerakan melawan COVID-19 di media sosial. 

Namun, penggunaan metafora yang disalahgunakan secara terus menerus justru dapat menimbulkan kecemasan dan mungkin mendistorsi hal-hal tentang pandemi menurut Olza. 

Selain itu, istilah-istilah seperti 'natural disaster' dan 'perfect storm' dapat menciptakan kesan bahwa pandemi itu tidak dapat dihindari dan mengabaikan konteks politik, ekonomi dan lingkungan yang membuat orang-orang tertentu lebih terekspos.

Beberapa petugas layanan kesehatan bahkan telah menyatakan kekecewaan mereka karena disebut 'pahlawan'. 

Daripada terlihat sebagai individu yang kompleks dan mengorbankan dirinya sendiri, mereka lebih butuh peralatan dan kebijakan yang menlindungi pekerjaan mereka.

Secara keseluruhan, ada banyak kreativitas linguistik yang belum masuk ke kamus, tetapi mencerminkan peran bahasa novel sebagai mekanisme koping. Penggunaan linguistik inovatif itu menurut Lawson dapat membantu masyarakat di dunia untuk membicarakan hal yang sama. 

Baca Juga: Dadan Pramadi, Eksplorasi Fotografi Kacang di Tengah Pandemi

Seorang penulis bernama Karen Russell telah menemukan kata yang bisa dipakai bersama menurut Lawson di atas, seperti 'meratakan kurva' yakni istilah untuk meyakinkan pentingnya tindakan individu dan kolektif.

Tak kalah menarik ialah selalu ada emoji yang juga bermunculan selama pandemi ini. Seperti emoji tangan yang terlipat, emoji masker medis, dan emoji mikrob. Semuanya menjadi lebih populer selama pandemi.

Ahli bahasa percaya bahwa banyak istilah yang sedang populer saat ini tidak akan bertahan lama. Yang memiliki peluang lebih besar untuk bertahan pasca-pandemi adalah mereka yang menggambarkan perubahan perilaku yang langgeng. Seperti zoombombing yang dipengaruhi oleh kata photobombing. Yaitu praktik yang mengganggu video call orang lain.