Pesjati, Takdir Balita Penyintas Pagebluk Pes di Hindia Belanda

By FX Domini BB Hera, Minggu, 31 Mei 2020 | 17:29 WIB
Duduk dari kanan ke kiri: Pestiati memangku Sri Parwati, Dokter Tjip, Ny. Mien Tjipto, dan Pratomo memangku anak pertamanya (Sri Pandansari Agustini). Di belakang dua pria merupakan kerabat Dokter Tjip. Potret terakhir kebersamaan Pestiati sekeluarga dengan Dokter Tjip pada 1942. (Koleksi Hanifditya/Keluarga Pestiati)

Alun-alun Malang, pusat pemerintahan lama sebelum menjadi kotapraja. Di kawasan ini terdapat kediaman Bupati Malang, rumah Asisten Residen Malang, Masjid. Foto sekitar 1915, ketika wabah pes masih berjangkit. (KITLV)

Dokter Tjip konsisten menyuarakan kasus pagebluk pes hingga dalam masa pembuangannya sekalipun. Pada 10 Januari 1914 di Den Haag, jantung Negeri Belanda, dia tetap berapi-api berceramah dengan tajuk Wabah Pes dan Cara Pemberantasannya.

Tak berhenti sampai di situ. Dia ditunjuk sebagai salah satu anggota perdana parlemen kolonial, Volksraad, dari kalangan bumiputra pada 1918. Tahun yang dikenang dunia sebagai awal pandemi influenza. Pada akhirnya, pandemi ini sampai juga ke Hindia Belanda, menjangkiti dan membinasakan jutaan penghuninya.

Kisah Pesjati dan Dokter Tjip tentu menjadi memori yang menubuh bagi Sri Parwati serta seluruh keluarganya. Sejarah kecil ini turut menjadi ingatan kolektif dari sejarah Indonesia, ketika negeri ini berada di tengah-tengah pagebluk Covid-19.

Anak Pesjati, Sri Parwati telah purna tugas sebagai abdi negara di Kementerian Kesehatan pada dua dekade silam. Dia bertugas dalam Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.  Sri lulusan psikologi Universitas Padjajaran Bandung dan alumnus master of public health dari Loma Linda University, Amerika Serikat. Tugas dan kewajibannya pada sebuah institusi yang melakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit menular, bukanlah sebuah kebetulan belaka. Ini sudah menjadi takdir hidupnya.

Politik Etis Minus Kesehatan Publik

Pesjati hidup panjang hingga berusia 95 tahun. Dia menjadi saksi hidup dari perjalanan ayahnya sekaligus terlibat dalam perjalanan bangsanya. Dia lahir di tengah-tengah ironi sebuah masa. Politik etis yang didorong kalangan politisi sosialis demokrat Belanda tampaknya tidak memasukkan aspek kesehatan publik sebagai prioritas. Padahal, kebijakan ini berlandaskan hutang budi Belanda terhadap rakyat jajahannya.

Politik Etis bergulir semenjak pidato Ratu Wilhelmina (1880-1962) pada 1901. Kebijakan ini berfokus pada kesejahteraan bumiputra pada tiga aspek utama: edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Minus sektor kesehatan publik.

Akibatnya nahas. Dari wabah satu ke wabah yang lain justru kalangan bumiputra menjadi kaum yang paling menderita, rawan, rentan, dan rapuh. Jumlah dokter begitu minim, apalagi ketiadaan rumah sakit yang layak dan ramah bagi semua kalangan.

Dalam pagebluk pes pertama di Hindia Belanda, sedikit dokter Belanda yang berani turun tangan ke Malang. Mereka takut dengan memori pes Eropa abad ke-17, yang hampir menghabisi seluruh populasi. Sejatinya mereka enggan dan jijik untuk mengurusi kalangan bumiputra. Stigma bumiputra adalah kaum miskin, kumuh, dan abai sanitasi. Dengan kata lain, mereka menempatkan pandangan rasial bahwa bumiputra sebagai biang penyakit.

Baca Juga: Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia

Pestiati menggendong cucunya, Hanifditya. (Koleksi Hanifditya/Keluarga Pestiati)