Mereka semua sempat berfoto bersama. Foto itu menjadi foto keluarga terakhir bagi Dokter Tjip bersama keluarga Pestiati. Tampak dalam foto itu, Dokter Tjip berbusana serba putih. Persis seperti potret resminya semasa menjadi dokter pemberantas pes di Malang pada 1911, ketika ia menemukan bayi malang Pestiati.
Setahun berikutnya, Dokter Tjip berpulang. Jenazahnya diangkut ke Watu Ceper, Ambarawa untuk dimakamkan di pusara keluarga. Kelak, saat Pestiati wafat pada 2005, perempuan sepuh itu dimakamkan di belakang makam sang ayah.
Pratomo, suami Pestiati meninggal pada 1955. Sejak saat itu, Pestiati bergiat membesarkan keenam anaknya. Ia bekerja sebagai ibu pengasuh Asrama Putri Ekanita Universitas Airlangga, Surabaya. Hanifditya, putra Sri Parwati dan cucu Pestiati, mengalami betapa sang nenek terus aktif bergiat hingga berusia 89 tahun.
Salah satunya ketika mereka mengunjungi kembali rumah pengasingan Dokter Tjip di Banda Neira tahun 1990. Mereka tidak sendirian, turut serta dalam rombongan Poppy Sjahrir (1920-1999), Rahmi Hatta (1926-1999), Hartini Sukarno (1924-2002), Megawati Sukarnoputri hingga keluarga Mr. Iwa Kusuma Sumantri (1899-1971). Rombongan itu napak tilas ke rumah-rumah tokoh bangsa yang lain semasa pembuangan kolonial di Banda Neira dengan ditemani Des Alwi (1927-2010), tokoh masyarakat Banda Neira sekaligus anak didik Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta.
Hanifditya menuturkan bahwa Dokter Tjip, kakek buyutnya, tidak meninggalkan harta duniawi bagi keluarga. Harta berharga yang sejati bagi Hanifditya ialah nilai keteladanan kakek buyut mengenai kemanusiaan berikut perjuangan politik kebangsaan serta kisah neneknya. Keteladanan itu tampaknya telah menubuh dalam keluarganya, sebagaimana mewujud dalam profesi ibunya, Sri Parwati, yang bekerja dalam pengendalian penyakit menular.
Sekalipun Sukarno mengangkat Dokter Tjip sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1964 ,namun Pestiati baru sah diakui negara sebagai ahli waris Dokter Tjip pada dekade 1970-an.
Pestiati menjadi perempuan tangguh yang ditempa rangkaian zaman. Dia lahir dan diselamatkan di tengah-tengah pagebluk. Dia ikut ayahnya berpindah-pindah sebagai tahanan politik, hingga membesarkan enam anak sepeninggal sang suami.
Epilog
Masa-masa terpenting dalam sejarah itu boleh jadi ditandai dalam masa-masa yang penuh kesukaran. Dan, saya pikir, Pestiati telah melalui masa-masa itu dengan kebesaran jiwa. Pagebluk membuatnya diangkat anak, ikut dalam pembuangan orang tua angkatnya, ditinggal wafat suaminya, dan membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Tjipto dan Pestiati telah menjadi bagian sejarah bangsa ini. Kini, dalam masa pagebluk Covid-19, kisah hidup mereka terdengar lagi. Rakyat kebanyakan senantiasa menjadi bulan-bulanan pagebluk. Pesjati dan kisahnya tidak boleh terulang pada Pesjati-pesjati lain di masa Republik Indonesia. Pestiati menjadi peringatan akan infrastruktur mitigasi wabah berbasis sejarah.