Tragedi Hancurnya Pusparagam Kehidupan di Bumi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 4 Juni 2020 | 02:20 WIB
Laut berperan penting dalam melawan pemanasan global dengan menyerap sekitar 93 persen karbon dioksi (David Doubilet/National Geographic Creative)

“Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung, memburuk lebih cepat daripada sebelumnya,” ujar Sir Robert Tony Watson selaku Chairman of Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. “Kita sedang menggerogoti fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup kita sendiri di seluruh dunia.”

Laporannya, sekitar satu juta spesies hewan dan tumbuhan sekarang terancam punah dalam beberapa dekade mendatang. Celakanya, kecenderungan ini belum pernah terjadi dalam sejarah manusia.

Watson mengemukakan suramnya keanekaragaman hayati dunia pada IPBES Plenary yang digelar pada semester pertama 2019. Dia merupakan ahli kimia asal Inggris, yang sejak 1980-an mengkaji perkara sains atmosfer—penipisan ozon, pemanasan global dan paleoklimatologi.

Alam menurun secara global pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Laju kepunahan spesies semakin cepat, dengan dampak yang serius terhadap manusia. Bagaimana kita menyikapinya?

Kamera tersembunyi menangkap gambar harimau sumatra saat sedang berburu di hutan Sumatra, Indonesia. (STEVE WINTER)

Indonesia memiliki lebih dari 51 juta hektare kawasan konservasi, artinya sekitar 28 persen luas daratan. Sejatinya ini melebihi target sebesar 17 persen yang ditetapkan Convention on Biological Diversity, sebuah perjanjian antar negara untuk melestarikan sumber daya hayati. Dari sisi kawasan konservasi lautan, Indonesia memiliki 20 juta hektare per 2018, yang melebihi target perjanjian tersebut.

Namun demikian, Indonesia menjadi negara keenam dengan tingkat kepunahan keanekaragaman hayati terbanyak sedunia.

Djunijanti Peggie, Peneliti Kupu-kupu Museum Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengungkapkan bahwa tujuh miliar populasi manusia telah mendesak penghuni lain di Bumi. Akibatnya, menurutnya, habitat serangga pun perlahan berkurang—tergerus pembangunan perumahan atau alih fungsi lahan.

Di satu sisi kita khawatir, namun di sisi lain keprihatinan kita bisa menjadi kesempatan untuk memperlambat laju kepunahan serangga. “Sebelum bisa bilang apa saja yang hilang, kita harus tahu dulu apa yang kita punya saat ini. Oleh sebab itu, pendataan sangat penting,” ujarnya pada acara Bincang Redaksi yang digelar dalam diskusi daring oleh National Geographic Indonesia pada Mei silam.

Bunga bangkai (Amorphophallus titanum). (Gema Ramadhan)

“Rata-rata setiap hari ada 300 spesies [di dunia] yang dideskripsikan dan diberi nama,” ungkap Prof. Budi Setiadi Daryono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang biologi di Universitas Gadjah Mada pada pertengahan 2019, yang dikutip dari laman ugm.ac.id. “Namun,” sambungnya, “aktivitas pendataan ini pun harus berpacu dengan laju kerusakan ekosistem yang berarti merusak habitat sekaligus relung biologi.”

Salah satu ancaman serius dalam pelestarian keanekaragaman hayati adalah perdagangan satwa liar. Mengutip dari laman yang sama, Profesor Satyawan Pudyatmoko, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang kehutanan di Universitas Gadjah Mada pada Februari silam, berkata, “Tidak mudah untuk mendamaikan konflik-konflik kepentingan dalam perebutan ruang hidup antara satwa liar dan manusia dalam realitas sosio-ekonomi Indonesia.”