Nationalgeographic.co.id - Pada akhir 1979, ketika Jimmy Carter memasuki tahun keempat pemerintahan, ia menghadapi serangkaian tantangan dari pihak asing.
Pada bulan November, lebih dari 60 orang disandera di Kedutaan Besar AS di Iran. Kemudian, pada akhir Desember, Uni Soviet menyalakan kembali ketegangan Perang Dingin dengan menginvasi Afghanistan untuk menopang rezim komunis.
Baca Juga: Para Pionir Perempuan Kulit Hitam dalam Kancah Olahraga Amerika
Carter mengambil sikap di panggung global, mengancam pemimpin Soviet Leonid Brezhnev dengan embargo biji-bijian dan penghapusan perjanjian SALT II. Dia juga mempertimbangkan pilihan untuk menarik Amerika Serikat agar tidak ikut serta dalam Olimpiade Musim Panas 1980 di ibukota Soviet, Moskow--sebuah langkah yang memicu pukulan hubungan masyarakat yang kuat tetapi berpotensi membuatnya rentan terhadap serangan balasan yang kuat.
Menurut arsip Departemen Luar Negeri AS, gagasan boikot Olimpiade telah terwujud selama pertemuan NATO pada 20 Desember 1979, beberapa hari sebelum invasi Soviet. Pembangkang Soviet seperti peraih Nobel Andrei Sakharov juga mendukung boikot itu, topik tersebut mendapat sorotan di media dan di dalam pemerintahan Carter.
Carter memberikan ultimatumnya pada 20 Januari 1980, menuntut agar Olimpiade dipindahkan ke situs alternatif atau dibatalkan jika Soviet tidak menarik pasukan mereka dalam waktu satu bulan.
"Terlepas dari apa yang dilakukan negara lain, saya tidak akan mendukung pengiriman tim Olimpiade Amerika ke Moskow sementara pasukan invasi Soviet berada di Afghanistan," Carter di laman Biography.
Tiga hari kemudian, presiden sekali lagi mengemukakan masalah ini pada audiensi nasional selama pidato kenegaraannya. Menarik tanggapan yang menyatakan bahwa "baik rakyat Amerika maupun saya tidak akan mendukung pengiriman tim Olimpiade ke Moskow."
Meskipun sikapnya keras, Carter tahu dia bisa 'dilempari telur di muka' jika negara-negara lain tidak mendukung boikot. Ia mengirim Muhammad Ali sebagai duta besar untuk menggalang dukungan di seluruh Afrika.
Brezhnev menolak menarik militernya dari Afghanistan, dan Komite Olimpiade Internasional tidak mau menjadwal ulang Pertandingan Musim Panas. Tanggung jawab berada pada administrasi Carter untuk membuat para atlet Amerika sejalan.
Ketika mengadakan pertemuan dengan anggota USOC (United State Olympic & Paralympic Comittee) di Gedung Putih pada 21 Maret, Penasihat Keamanan Nasional Zbigniew Brzezinski menyampaikan presentasi yang menyoroti bahaya invasi Soviet, termasuk dugaan penggunaan senjata kimia.
Presiden Carter kemudian memasuki ruangan, kamera-kamera berita menangkap momen menegangkan ketika dia melanjutkan ultimatumnya. "Saya tidak bisa mengatakan pada saat ini apakah negara lain tidak akan pergi ke Olimpiade Musim Panas di Moskow. Negara kita tidak akan pergi," katanya.
"Saya katakan itu tidak dengan dalih apa pun; keputusan telah dibuat."
Baca Juga: Kematian George Floyd dan Sejarah Panjang Rasisme di Minneapolis
Namun, keputusan itu tidak akan ditetapkan sampai USOC mendukung boikot. Menyusul pidato yang berapi-api dari Wakil Presiden Walter Mondale dan mantan menteri keuangan William Simon, pada 12 April USOC memilih untuk melepaskan kompetisi, meskipun beberapa anggota menggerutu karena tidak punya pilihan dalam masalah ini.
Pada akhirnya, 64 negara bergabung dengan AS dalam memboikot Olimpiade Musim Panas pada Agustus itu. Sementara 80 lainnya menuju Moskow, termasuk Inggris Raya sebagai sekutu Amerika yang memilih untuk membiarkan para atletnya memutuskan sendiri apakah akan berpartisipasi atau tidak.