Prasasti lain yang juga menarik bagi Titi adalah prasasti Turyyan, yang hingga kini ada di tempat aslinya—belum dipindahkan. Berlokasi di Desa Turen, yang merupakan penyesuaian bunyi dari Turyyan. Tampaknya, inilah salah satu toponimi pada masa Mataram Kuno yang masih lestari. “Kedudukan sungai dan pasar masih sesuai dengan yang disebutkan dalam prasasti.”
Prasasti tersebut juga menyebutkan contoh komoditi yang biasa dipikul pedagang, seperti pakaian, perkakas logam (tembaga, besi, perunggu, timah), daun untuk pembungkus, kapur, kapas, mengkudu, minyak, gula, beras, dan lainnya.
Lalu, di manakah pasar-pasar kuno itu berlokasi? Berdasar prasasti Truyyan dan Muncang tinggalan Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa, pasar umumnya terletak di dekat aliran sungai atau kawasan strategis untuk lalu lintas perdagangan. Bahkan, Titi berkesempatan melancongi sebuah pasar di Jombang, Jawa Timur, yang masih berlokasi di tepian Sungai Brantas.
Sisi lain pasar sebagai fungsi sosial, menurut Titi, adalah digunakannya pasar sebagai tempat pusat informasi dan komunikasi, juga kesenian. Pasar dijadikan tempat pelaksanaan upacara penetapan lokasi bangunan suci. Di pasar nan ramai pula para punggawa kerajaan mengumumkan kebijakan raja, dan pertunjukan tarian keliling berpentas.
Rupa-rupanya, budaya dari masa ratusan tahun lalu itu masih berlanjut di sebuah pasar di Jawa hingga hari ini—meskipun sudah langka. Ketika Titi melakukan studi etnoarkeologi, dia pun mendapati bahwa Pasar Turen masih menjadi corong berita kemalangan warga sekitar: sakit atau meninggal dunia.
Seiring perkembangan peradaban, kini pasar tradisional pun cenderung mulai terdesak oleh dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan dengan pasar mutakhir yang dikemas untuk masyarakat perkotaan. Sebuah tuntutan zaman yang semakin praktis dan serba tertata dan cepat.
Ada “nilai kearifan yang hilang,” menurut Titi menanggapi maraknya gaya hidup berbelanja di pasar swalayan atau hypermarket. Bahwa pasar kini sebagai tempat kegiatan ekonomi belaka, sementara fungsi pasar sebagai tempat kegiatan sosial dan kegiatan kesenian sudah pupus.
Titi berharap, “Semoga pasar tradisional tetap dipertahankan karena dengan pasar seperti ini masih terjadi komunikasi yang baik antara penjual dan pembeli, penjual dengan penjual, pembeli dengan pembeli.”
Interaksi menjadi kata kunci soal keeratan hubungan dalam komunitas pasar, yang tidak ditemui apabila berbelanja di pasar swalayan. Konsep pasar sebagai tempat belanja hanya untuk kalangan menengah ke bawah, berbau tak sedap, dan kumuh itu harus diperbaiki, demikian hemat Titi.
Titi memberi contoh sebuah pasar tradisional di Tangerang Selatan yang telah direvitalisasi tanpa menghilangkan nilai interaksi sosial. Dia menyebutnya pasar modern, sebuah “pasar tradisional yang sudah diubah [sehingga] menjadi menyenangkan bagi yang berbelanja, dan bersih.”