Nationalgeographic.co.id— Titi Surti Nastiti, seorang ahli arkeologi dan epigrafi Pusat Arkeologi Nasional, pernah menyelisik pasar zaman Mataram Kuno lewat metode arkeologi sejarah dan etnoarkeologi. Berdasarkan kajiannya terhadap prasasti-prasasti yang berkaitan pasar semasa, Titi menunjukkan bahwa pasar tidak hanya berperan sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi, tetapi juga kebutuhan sosial.
Prasasti-prasasti yang ditelitinya adalah Panggumulan (824 Saka/902 M) koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta; Turyyan (851 Saka/929 M) dan Muncang (866 Saka/944 M) koleksi Museum Mpu Purwa, Malang-Jawa Timur; Rukam (829 Saka/907 M) koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah; dan Waharu IV (853 Saka/931 M) koleksi Museum Nasional, Jakarta.
Jika pagi tadi kita berkesempatan melancongi pasar di Jawa Tengah atau Jawa Timur, tentunya kita masih menemukan sebagian pasar yang digelar atau ramai pada hari-hari tertentu. Menurut Titi, pada kenyataannya tradisi ini sudah ada sejak masa Mataram Kuno.
Masyarakat Jawa kuno telah mengenal hari pasaran yang berjumlah lima atau pancawara. Mereka menyebutnya Umanis (Manis), Pahing, Pwan (Pon), Wagai (Wage), Kaliwuan (Kliwon). Dalam satu rotasi disebut sepasar, istilah ini masih berlanjut hingga kini.
Baca Juga: Pasar Rakyat Lasem Daring: Kami Memilih Menyalakan Lilin Kecil
Untaian aksara pada prasasti Panggumulan, berdasarkan telaah Titi, memaparkan bahwa pada hari pasaran itulah orang-orang datang dari satu desa ke desa lain untuk berdagang.
Sementara dari prasasti Panggumulan dan prasasti Rukam, Titi menyebutkan jenis-jenis ikan asin dan dendeng ikan lainnya yang disajikan di pasar yang tak jauh berbeda dengan di konsumsi masayarakat perdesaan kini.
Mereka melakukan transaksi dengan potongan-potongan emas dan perak, demikian menurut berita Cina dari Dinasti Song, juga temuan Titi pada prasasti. Namun, tampaknya penggunaan emas dan perak hanya untuk transaksi barang yang nilainya tinggi, sedangkan untuk jual beli barang kebutuhan sehari-hari, mereka menggunakan koin Cina.
Pada zaman Mataram Kuno, seperti yang tertulis dalam prasasti Panggumulan, pasar berperan juga sebagai tempat interaksi sosial. Interaksi membuat orang-orang yang tadinya tidak saling kenal menjadi memiliki hubungan kekerabatan.
“Prasasti Panggumulan merupakan prasasti yang paling menarik bagi saya,” ungkap Titi. Alasannya, isi prasasti itu mengenai masalah tanah dan bagaimana rakyat jelata bisa membeli tanah, meskipun dalam undang-undang menyebutkan bahwa tanah adalah milik raja.
Baca Juga: Berdiri Sejak 1926, Roti Tan Keng Chu Jadi Favorit Para Tentara Belanda di Zaman Kolonial
Prasasti lain yang juga menarik bagi Titi adalah prasasti Turyyan, yang hingga kini ada di tempat aslinya—belum dipindahkan. Berlokasi di Desa Turen, yang merupakan penyesuaian bunyi dari Turyyan. Tampaknya, inilah salah satu toponimi pada masa Mataram Kuno yang masih lestari. “Kedudukan sungai dan pasar masih sesuai dengan yang disebutkan dalam prasasti.”
Prasasti tersebut juga menyebutkan contoh komoditi yang biasa dipikul pedagang, seperti pakaian, perkakas logam (tembaga, besi, perunggu, timah), daun untuk pembungkus, kapur, kapas, mengkudu, minyak, gula, beras, dan lainnya.
Lalu, di manakah pasar-pasar kuno itu berlokasi? Berdasar prasasti Truyyan dan Muncang tinggalan Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa, pasar umumnya terletak di dekat aliran sungai atau kawasan strategis untuk lalu lintas perdagangan. Bahkan, Titi berkesempatan melancongi sebuah pasar di Jombang, Jawa Timur, yang masih berlokasi di tepian Sungai Brantas.
Sisi lain pasar sebagai fungsi sosial, menurut Titi, adalah digunakannya pasar sebagai tempat pusat informasi dan komunikasi, juga kesenian. Pasar dijadikan tempat pelaksanaan upacara penetapan lokasi bangunan suci. Di pasar nan ramai pula para punggawa kerajaan mengumumkan kebijakan raja, dan pertunjukan tarian keliling berpentas.
Rupa-rupanya, budaya dari masa ratusan tahun lalu itu masih berlanjut di sebuah pasar di Jawa hingga hari ini—meskipun sudah langka. Ketika Titi melakukan studi etnoarkeologi, dia pun mendapati bahwa Pasar Turen masih menjadi corong berita kemalangan warga sekitar: sakit atau meninggal dunia.
Seiring perkembangan peradaban, kini pasar tradisional pun cenderung mulai terdesak oleh dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan dengan pasar mutakhir yang dikemas untuk masyarakat perkotaan. Sebuah tuntutan zaman yang semakin praktis dan serba tertata dan cepat.
Ada “nilai kearifan yang hilang,” menurut Titi menanggapi maraknya gaya hidup berbelanja di pasar swalayan atau hypermarket. Bahwa pasar kini sebagai tempat kegiatan ekonomi belaka, sementara fungsi pasar sebagai tempat kegiatan sosial dan kegiatan kesenian sudah pupus.
Titi berharap, “Semoga pasar tradisional tetap dipertahankan karena dengan pasar seperti ini masih terjadi komunikasi yang baik antara penjual dan pembeli, penjual dengan penjual, pembeli dengan pembeli.”
Interaksi menjadi kata kunci soal keeratan hubungan dalam komunitas pasar, yang tidak ditemui apabila berbelanja di pasar swalayan. Konsep pasar sebagai tempat belanja hanya untuk kalangan menengah ke bawah, berbau tak sedap, dan kumuh itu harus diperbaiki, demikian hemat Titi.
Titi memberi contoh sebuah pasar tradisional di Tangerang Selatan yang telah direvitalisasi tanpa menghilangkan nilai interaksi sosial. Dia menyebutnya pasar modern, sebuah “pasar tradisional yang sudah diubah [sehingga] menjadi menyenangkan bagi yang berbelanja, dan bersih.”