Sedapkan Manggarai: Cengkerama Kuliner dan Masyarakat Labuan Bajo

By Agni Malagina, Senin, 29 Juni 2020 | 12:59 WIB
Chef Michael membuka studio virtual di rumahnya untuk berkreasi dengan resep-resepnya sembari beradptasi dengan masa pandemi. (Agni Malagina)

Nationalgeographic.co.id - “Sedapkan Manggarai” demikian slogan yang diluncurkan oleh seorang chef sekaligus praktisi kuliner asal Salatiga yang melabuhkan jiwa raganya di Labuan Bajo sejak 2016, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ia sering dipanggil dengan sebutan Chef Michael, pria yang lahir pada 1970 ini memiliki nama lengkap Michael Irawan Wahyu Agung.

Selama menghuni Labuan Bajo, dia berprinsip harus berguna untuk Labuan Bajo. Perkenalannya dengan kuliner Manggarai Barat hampir genap empat tahun. Kegemarannya mengulik resep masakan membuahkan buku mini resep kuliner Manggarai Barat—seperti nasi kolo, ute lomak, ute posok, tibu ikang, tibu manuk, manuk butuk, ikan butung, latung bombo, rumpu rampe, dan lainnya.

"Kumpulkan resepnya cukup lama, konfirmasi ulang ke Pater Terry, beliau Rektor SVD Labuan Bajo,"ujar Michael menceritakan proses pembuatan buku kumpulan resepnya bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat, Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia pada tahun 2018. 

Baginya, makanan merupakan unsur kebudayaan yang paling mudah digunakan sebagai sarana berkomunikasi, bisa dinikmati dan bisa diceritakan.

Desa Wae Rebo berada di barat daya kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (Lutfi Fauziah)

“Bagian dari pengalaman mengenal tempat baru,”ujar juru masak professional yang berprinsip bahwa dapur adalah pusat zona nyaman untuk keluarga.

“Kitchen is family sanctuary. Ketika kamu pulang ada masakan mama di sana,”tegasnya sambil menceritakan keinginannya memasak bersama mama-mama di Flores.

“Sedapkan Manggarai namanya. Sekarang kalau kita masuk dapur Manggarai sering temui mama-mama potong ayam dikasi masako. Saya ingin masuk dapur mama-mama dan memasak bersama mereka. Tinggal dan memasak bersama mereka, hidup bersama orang Manggarai asli, ikut ke pasar. Dari situ kita bisa belajar dan menambahkan unsur baru yang cocok untuk dimasukkan dalam elemen masakan. Misal menambah ketumbar,” tambahnya sambil menganalisa karakteristik pertumbuhan bumbu-bumbu di Manggarai Barat yang berkarakter tropical dry forest sehingga bumbu-bumbu aromatik seperti kunyit, jahe, lengkuas (tanaman tropical rain forest) sulit tumbuh di wilayah Manggarai.

Baca Juga: Proses Panjang Pembuatan Moke yang Jadi Simbol Persaudaraan di Flores

Ayam kampung muda yang tersaji sebagai Manuk Butuk, racikan Michael Irawan Wahyu Agung. Salah satu kuliner yang mengisahkan jati diri Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (Michael Irawan Wahyu Agung. )

“Nanas, akan tumbuh baik di tanah karst (kapur). Percaya deh, mungkin nanas di sini terbaik di Indonesia, paling enak. Alpukat, pisang, bunga pun merah lebih merah. Flores itu karakternya, namun berbeda dengan dengan daerah vulkanik seperti Ruteng ya! Saya ingin mulai masuk ke kampung hutan mendata vegetasi bumbu setempat. Mengenal makanan dan orang Manggarai,” ujar Michael.

“Kenali dulu people, culture, baru nature untuk kenal identitas Labuan Bajo dan Manggarai, dan paling mudah dekat dengan kita adalah food bagian dari culture. Nah ini ada ikatan emosional, bagaimana belajar cara makan orang Manggarai,”ujar Michael.