Sains Ancala, Bagaimana Kita Bersikap dan Belajar pada Gunung?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 7 Juli 2020 | 22:18 WIB
Editorial edisi Juli 2020—National Geographic Indonesia. (National Geographic Indonesia)

Untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Adi Seno, sosok senior yang bersemangat dan rendah hati. Para pendaki mengenangnya sebagai seorang yang berkesempatan merayapi singgasana dewa-dewa gunung. Carstenz Pyramid 1986 dan 1992, Bugaboo Spire di Kanada 1986, Vasuki Parbat di Himalaya 1987, Chimborazo dan Cayombe di Ekuador 1988.

Baca Juga: Mengenang Jasa Pramono Edhie Wibowo Atas Pendakian Everest 1997

Perempuan untuk Perubahan, National Geographic Indonesia edisi Juli 2020. Mathilda Dwi Lestari dan Fransiska Dimitri Inkiriwang. Keduanya telah memuncaki tujuh gunung tertinggi di tujuh benua. (National Geographic Indonesia)

Saya tertarik ketika dia mengungkapkan bahwa panjat tebing sebagai sebuah karya seni. Baginya panjat tebing merupakan “atletik” dari naik gunung. Semua pendakian gunung itu berbasis pada panjat tebing. Di dalamnya terdapat sistematika berfikir seperti prosedur, perancangan kegiatan jangka pendek, dan penyelesaian jalur dengan waktu singkat.

“Seperti sebuah karya seni,” ujarnya. “Jika tidak ada pemanjat, maka tebing-tebing itu hanyalah sebuah batu.” Salah satu cara menikmati seni panjat tebing, ujarnya, mencoba sedekat mungkin dengan alam dengan “meminimumkan penggunaan bolt (bor pengaman) karena akan meninggalkan bekas.” Demikianlah, panjat tebing pada dasarnya dari petualangan atau alam. Apabila hanya berlatih melalui dinding, ungkapnya, “tentu hasilnya tidak maksimal”.

Namun demikian, dengan arif Adi Seno mengakui bahwa bahwa tidak semua ekspedisi berakhir sukses menuju puncak. Ada kalanya alam atau keadaan memaksa tim untuk tidak melanjutkan ekspedisi, seperti pengalamannya sebagai Pemimpin Tim Ekspedisi Everest Indonesia bersama Kopassus, 1997. Dia terpaksa memutuskan untuk menghentikan pendakian setelah salah satu tim telah sukses mencapai puncak. Tim yang sukses mencapai puncak dikisahkan dalam artikel Merah Putih di Atap Everest pada Juli 2020.

Baca Juga: Mengaku Cinta Alam? Yuk Traveling ke Gunung Tanpa Menyisakan Sampah

Pemandangan Semeru dari Pasuruan karya pelukis Abraham Salm (1801-1876). Litograf ini adalah salah satu dari 15 pemandangan tentang Jawa berdasarkan karya Salm, yang dibuat oleh pengukir J.C. Grieve. Litograf ini terbit di Amsterdam pada 1872. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Ada satu perkataan Adi Seno yang selalu saya ingat. “Resiko dalam hidup adalah sebuah fakta yang dihadapi,” ujarnya, “dan kegiatan outdoor extreme menstrukturkan resiko menjadi sesuatu yang bisa dikelola”.

Selama satu dekade belakangan ini kegairahan dalam pendakian boleh dibilang meluap-luap. Sinema, media sosial, jaringan wisata turut memacu percepatan ini. Sayangnya, para pendaki kerap abai tentang konsep perjalanan lestari. Akibatnya, sampah bertebaran sepanjang jalur pendakian. Gunung Semeru yang berada di kawasan taman nasional menjadi salah satu contohnya.

Barangkali kita perlu berkaca kembali pada leluhur, yang memuliakan gunung sebagai tempat sakral dan terhormat. Pelajaran bijak, bukankah air yang selama ini menghidupi kita berasal dari kuasa hutan-hutan di gunung? Gunung ternoda, kita pun celaka.