Meleburnya Budaya Indonesia dan Prancis Melalui Dagelan Bernama Farce

By Fikri Muhammad, Rabu, 15 Juli 2020 | 10:46 WIB
The Marriage of Figaro ()

Nationalgeographic.co.id - Farce merupakan dagelan ala Prancis yang sudah ada sejak abad pertengahan. Ia berupa permainan kata seperti plesetan, pengulangan, dan peniruan yang menghibur mata penonton untuk melepaskan penat kehidupan sehari-hari.

Farce dipengaruhi oleh komedi Italia yang menunjukan gerak tubuh, mimik, teriakan, serta dandanan aneh.

Ida Sundari Husen, pada penelitiannya mengatakan bahwa awalnya farce adalah seni rakyat dan menggunakan bahasa rakyat. Namun pada perkembanganya, ia masuk ke kalangan atas dan menyelipkan karya-karya yang lebih serius yakni comédie.

"Tujuan komedi sebagai karya drama adalah menghibur dan mengkritik dengan memperolok sifat dan cacat-cela manusia, keadaan, atau situasi yang konyol," tulis Ida.

Baca Juga: Ragnarok, Serangkaian Peristiwa Kiamat Pada Cerita Mitologi Nordik

Sindiran yang spesifik mungkin hanya bertahan di satu wilayah saja. Namun, karya-karya Jean-Baptiste Poquelin atau yang akrab dengan nama panggung Molière dan Beaumarchais justru menjangkau masyarakat di negara lain atau bersifat universal.

Bahkan, di Indonesia, karya Beaumarchais pernah diadaptasi dan dipentaskan. Seperti Le Mariage de Figaro oleh Teater Koma pimpinan N. Riantiarno dengan judul Perkawinan Figaro pada 1989.

Le Mariage de Figaro ditulis pada tahun 1780, ia memegang peranan penting dalam adegan-adegan lucu dan sering memunculkan nalar dan logika cerdik yang mengundang tawa. 

Sementara, pada adaptasi Teater Koma, menceritakan tentang Figaro dan Susan yang menceritakan rancana pernikahanya. Namun, Susan harus menghadapi tradisi turun-temurun, sebelum mendapat restu dari Almaviva, Susan harus dicicipi keperawananya olehnya. Sebelum diserahkan pada Figaro. Namun Figaro dan Susan menyiasati Almaviva dengan cerdik. 

Baca Juga: Kain Berang yang Mengikat di Kepala, Tanda Kedewasaan Suku Huaulu

Pementasan itu, dilansir dari laman Teater Koma, menampilkan tokoh-tokoh humor seperti Bartolo, Bazil, Tjetje Rubin, Fanset, Tonio, dan banyak lagi. Tokoh-tokoh itu tak hanya memberikan humor semata. Namun juga memercikan ajaran tentang kehidupan yang keras dan korup.

Teater Koma memainkan lakon ini pada latar sekitar Batavia pada akhir abad ke-19. Ketika Belanda masih memegang kekuasaanya atas Indonesia. Walaupun berbeda budaya, Pentas ini berasal pada akar yang sama yakni bahwa kekuasaan cenderung korup. "Sesudah tertawa, semoga kita kemudian bersedia untuk bercermin," pesan tertulis pada laman Teater Koma.