Nationalgeographic.co.id - Pada masa Revolusi Prancis, Liberté, Egalité, Fraternité merupakan salah satu dari sekian banyak motto yang digunakan.
Sejak 1793 sampai seterusnya, orang-orang Paris, menurut halaman Kementerian Prancis untuk Eropa dan Luar Negeri, melukiskan kata-kata "Persatuan, ketidakterpisahan Republik; kebebasan, kesetaraan atau kematian" di bagian depan rumah mereka. Hal ini juga diikuti oleh kota-kota lainnya.
Namun, mereka segera diminta untuk menghapus bagian akhir frasa karena terlalu terkait dengan pemerintahan teror.
Karena itu, semboyan itu tidak lagi digunakan di bawah kekaisaran Napoleon, seperti banyak simbol revolusioner lainya.
Baca Juga: Meleburnya Budaya Indonesia dan Prancis Melalui Dagelan Bernama Farce
Pada 1848, semboyan yang muncul berkembang dengan dimensi religius. Para imam merayakan "Kristus-Fraternité" dan memberkati pohon-pohon kebebasan yang ditanam pada waktu itu.
Ketika Konstitusi 1848 disusun, moto Liberté, Egalité, Fraternité dimantapkan sebagai prinsip Republik.
Dibuang di bawah Kekaisaran Kedua, semboyan ini akhirnya memantapkan dirinya di bawah Republik Ketiga, meskipun beberapa orang masih menentangnya, termasuk partisan Republik.
Solidaritas kadang-kadang lebih disukai daripada kesetaraan yang menyiratkan level masyarakat, dan konotasi Kristen persaudaraan tidak diterima oleh semua orang.
Baca Juga: Apa yang Sebenarnya Terjadi Pada Perayaan Hari Bastille di Prancis?
Semboyan ini ditorehkan kembali di bangunan publik, tepatnya pada perayaan 14 Juli 1880 dan muncul dalam konstitusi tahun 1946 dan 1958.
Liberté, Egalité, Fraternité merupakan bagian integral dari warisan nasional Prancis. Ini ditemukan pada barang-barang yang digunakan oleh masyarakat umum seperti koin dan perangko.