Nationalgeographic.co.id - Peta di atas menggambarkan gerak penyerbuan ke Pleret pada 9 Juni 1826 oleh pasukan Belanda dan pasukan pembantu asal pribumi di bawah komando Kolonel Frans David Cochius. Peta ini merupakan bagian dari "Mémoires sur la guerre de l'ile de Java, de 1825 à 1830" karya F.V.A. de Stuers.
“Plerette (Plérèd) adalah apa yang kita sebut di sini sebagai kraton atau kediaman sultan, tetapi sudah tak dihuni dalam waktu yang lama,” tulis Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir dalam catatan hariannya. “Kawasan itu dikelilingi oleh dinding setinggi sekitar tujuh meter, berbentuk persegi dengan sisi panjangnya 1,5 kilometer dan lebar sekitar separuhnya.”
Errembault merupakan serdadu Hindia Belanda Timur yang lahir pada 1789. Dia pernah sebagai perwira infanteri Belgia yang turut bertempur dalam Perang Napoleon di Spanyol dan Rusia pada 1807-1812. Lelaki itu tiba di Jawa dan langsung turut ambil bagian dalam serangan ke Plérèd pada 9 Juni 1826. Selama penugasan di Jawa itulah dia menceritakan pengalamannya kala membasmi laskar Dipanagara dalam catatan harian yang ditulisnya sejak 22 Oktober 1825 hingga 25 Mei 1830.
Baca Juga : Mengintip Makam Terbaru Raja Tutankhamun Setelah Selesai Direnovasi
“Kami mulai pagi ini pukul lima,” tulis Errembault dalam catatan hariannya pada 9 Juni 1826. Perjalanan dengan jalan kaki ditempuh selama tiga jam dari pusat Kota Yogyakarta. Pasukan tersebut terdiri atas 4.200 serdadu bersenjata bedil locok berpicu dan tombak, yang sebagian besar merupakan Hulptroepen—tentara pribumi. Mereka setidaknya butuh dua barel mesiu untuk meledakkan dinding bekas keraton itu. Namun, jikalau gagal pun mereka telah bersiap dengan tangga-tangga untuk menggapai penyerang. “Dikatakan bahwa para pemberontak yang berada di Plerette berjumlah 2.000.”
“Sekitar setengah sepuluh, howitzer dan serdadu kami mulai menembaki mereka,” tulisnya. Pasukan Erembault mengahadapi pertempuran sengit dengan laskar Dipanagara yang berlindung di dinding bekas Keraton Pleret dan telah membangun perancah sebagai jebakan.
Errembault berkisah, setengah jam berikutnya satu pleton infantri ditugaskan untuk merobohkan tembok dengan dua barel bubuk mesiu. Sumbu telah disulut, namun beberapa menit berlalu tanpa ledakan. Setelah diulangi lagi, ledakan hebat pun terjadi. “Tetapi, tidak menghasilkan dampak yang diinginkan.”
Namun, berangsur pasukan Hindia Belanda Timur berhasil bergerak memasuki pintu barikade dan merebut meriam kecil. Mereka menjumpai sekitar 1.500 laskar Dipanagara masih berada di dalam pertahanan kuno itu. “Tiga ratus gerilyawan melarikan diri melalui sebuah pintu kecil, tetapi banyak yang tewas oleh kavaleri kami yang berada di luar,” tulis Errembault.
“Kemudian mulailah pembantaian mengerikan,” tulisnya. “Semua tewas dengan bayonet dan tombak. Pembantaian berakhir sekitar tiga jam.” Mayat-mayat bergelimpangan di sawah dan semak. Errembault tidak mewartakan jumlah serdadu di pihak Belanda yang tewas, namun setidaknya tujuh orang dalam barisannya turut tewas.
“Sekitar pukul empat sore kami bergerak kembali ke Djocjokarta (Yogyakarta).” Sebagian pasukan tetap di Plérèd bersama Legiun Mangkunagara. Mereka membawa sejumlah besar kuda hasil pampasan perang. “Beberapa perwira dan prajurit juga mengambil belati, yang di sini disebut dengan kris, sebagian bersarung emas dan lainnya bersarung perak.”
“Bagi saya, cukuplah membawa seekor kuda bagus. Saya juga melaporkan sebilah pedang kavaleri dan sebuah cincin emas berbentuk ular dengan enam berlian kecil di atasnya. Kami tiba sekitar pukul tujuh malam. Hari yang sangat melelahkan bagi kami.”
Reruntuhan Keraton Plérèd yang berlokasi di tenggara Kota Yogyakarta merupakan bekas istana Amangkurat Pertama. Sisa tembok yang mengelilingi keraton itu telah menjadi benteng batu terakhir bagi laskar Dipanagara. Pada Juli 1826, sebulan setelah Pertempuran Plérèd, operasi pengejaran diteruskan untuk menyerbu Dekso, sebuah desa yang menjadi markas besar Dipanagara di sisi barat Kali Progo. Namun, pasukan Belanda hanya menjumpai desa itu telah ditinggalkan penghuninya.
Seorang janda Van Ingen, perwira Belanda yang tewas di Nanggulan, pernah menyanjung Errembault yang beruntung bisa selamat dalam kecamuk perang di Eropa dan Jawa. Namun, Sang Kapten itu hanya menimpalinya, “Sejatinya, waktuku belumlah datang.” Pada akhirnya, selepas enam bulan dari Perang Jawa, Errembault meninggal dengan kepangkatan mayor di Antwerpen, Belanda, pada September 1830.
Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti di Ecole Française d'Extrême-Orient (EFEO) menemukan kembali catatan harian Errembault di sebuah pasar loak tepian Seine, Prancis. Sang peneliti itu adalah Henri Chambert-Loir, yang banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Prancis dan pernah menjabat sebagai Kepala EFEO di Jakarta. Kini, buku harian yang sarat gambaran sejarah itu tersimpan di perpustakaan EFEO di 22 Avenue du President Wilson, Paris, Prancis.
Baca Juga : Ketangguhan Haenyeo, Para Penyelam Perempuan di Pulau Jeju
“Saya sangat senang kalau buku harian ini menarik bagi Anda,” kata Peter Brian Ramsay Carey kepada National Geographic. Dia merupakan salah satu sejarawan Inggris dari University of Oxford yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Dipanagara. Menurutnya, Errembault juga membuat catatan harian dalam Perang Peninsula di Spanyol dan Portugal selama 1807-1811, tetapi dia kemudian turut dalam Perang Napoleon di Rusia di mana buku harian itu hilang pada Pertempuran Borodino pada Agustus 1812. “Jadi kita sangat beruntung karena catatan harian yang istimewa ini selamat—dan ajaibnya justru ditemukan di pasar loak di Seine.”
Inilah satu-satunya buku harian Errembault yang selamat. Pada saat ini Carey dan Mark Loderichs—sejarawan militer Belanda dan peneliti dari Museum Bronbeek—sedang berupaya menerbitkan catatan harian Errembault de Dudzeele et d’Orroir. “Ini bukan satu-satunya catatan harian dari periode ini. Namun, inilah catatan yang paling menarik dengan sudut pandang kemanusian dan sejarah sosial,” ujar Carey.
Simak “Kisah Tragis Sang Pangeran dan Gelora Perang Jawa” dalam majalah National Geographic edisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR