Akankah Pandemi COVID-19 Memicu Krisis Perbankan di Indonesia?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 23 Juli 2020 | 19:24 WIB
Tampilan uang Rupiah dengan desain baru yang resmi diluncurkan oleh Bank Indonesia. (Sakina Rakhma Diah Setiawan/Kompas.com)

Nationalgeographic.co.id - Gangguan pada ekonomi karena pandemi COVID-19 bisa mendorong kepanikan publik terhadap sistem perbankan atau yang dikenal dengan istilah bank panic. Dalam situasi tersebut, masyarakat secara besar-besaran menarik dananya dari bank dan dalam skala besar.

Kesulitan nasabah menarik dana di Bank Bukopin yang baru saja terjadi kemarin bisa menjadi salah satu pemicu yang membuat industri perbankan semakin terguncang akibat pandemi COVID-19.

Baca Juga: Buruknya Hubungan Israel dan Palestina Hambat Penanganan COVID-19

Pandemi COVID-19 bisa menjadi permasalahan bagi perbankan, karena menghasilkan permasalahan di sektor riil atau dunia usaha yang berpotensi menimbulkan persoalan di sektor perbankan.

Hal ini bisa terjadi, karena sektor perbankan merupakan lembaga intermediasi atau perantara yang mendukung kebutuhan dana investasi bagi dunia usaha.

Risiko perbankan ketika pandemi

Dalam pandemi, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memperhatikan tiga sektor, yaitu kesehatan, sektor riil dan perbankan.

Perhatian tersebut tercermin dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) 2020 dan langkah kebijakan Bank Indonesia untuk menambah likuiditas atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang akan jatuh tempo.

Biaya penanganan COVID-19 melalui APBN 2020 sebesar Rp 695,20 triliun. Anggaran itu terbagi atas anggaran kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,90 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, bantuan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun. Untuk dunia usaha, insentif usaha dan UMKM alokasinya berkaitan dengan bantuan pembayaran utang di perbankan.

Bank Indonesia mengeluarkan juga kebijakan moneter yang bertujuan menambah likuiditas dengan cara membeli surat berharga jangka panjang perbankan konvensional untuk meningkatkan jumkah uang beredar dan mendorong pinjaman dan investasi. BI telah memberi dana likuiditas ke perbankan dalam jumlah besar, sehingga secara total mencapai sekitar Rp503,8 triliun.

Kondisi sistem perbankan Indonesia selama pandemi sebenarnya cukup baik. Indikator Perbankan di Indonesia sampai dengan Maret 2020 masih cukup baik.

Total aset masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 8,15% dibanding tahun lalu. Kredit juga tumbuh 7,95%. Non Performing loan (NPL) yang terdiri dari kredit kurang lancar, diragukan, dan macet masif relatif kecil sebesar 2,77%. Dana pihak ketiga atau dana yang dihimpun oleh bank dari masyarakat yang terdiri dari giro, tabungan dan deposito juga tumbuh sebesar 9,54%.

Namun demikian mengingat posisinya sebagai lembaga intermediasi, perbankan di Indonesia masih banyak mengandalkan pendapatan operasional perbankan dari pemberian kreditnya, maka ketergantungan akan dana pihak ketiga begitu besar. Mengingat sistem perbankan adalah sesuatu sistem yang komplek, permasalahan yang terjadi di bank-bank kecil dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada perbankan secara keseluruhan dan mendorong terjadinya bank panic.

Pentingnya pengelolaan isu

Beberapa informasi dan berita mengenai perbankan beberapa bulan ini nampaknya telah menjadi gejolak dalam perbankan.

Kegagalan manajemen perusahaan asuransi besar berdampak juga terhadap sistem perbankan seperti kasus Jiwasraya. Berita mengenai bermasalahnya tujuh bank dan potensi meningkatnya kredit macet pada masa pandemi COVID-19 merupakan isu-isu negatif yang akan menurunkan kepercayaan terhadap industri perbankan.

Lamanya penanganan kasus Bank Bukopin juga akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap perbankan Indonesia.

Bank Bukopin dan bank-bank lainnya yang bermasalah tidak termasuk bank besar karena modalnya yang berjumlah di bawah Rp 30 triliun, namun demikian penanganannya harus cepat dilakukan karena bank-bank tersebut mempunyai hubungan keuangan dengan bank-bank besar. Karena jika dibiarkan, bank-bank besar terseret dalam persoalan keuangan juga dan akhirnya akan berdampak sistemik.

Walaupun saat ini bank-bank besar yang menguasai pasar kredit dan dana pihak ketiga belum mengalami permasalahan yang sangat berarti, sehingga efek penularan belum berjalan, namun potensi risiko sistemik perbankan dapat saja terjadi, jika semakin banyak bank-bank kecil mendapatkan masalah.

Dalam perlambatan ekonomi saat ini potensi terjadinya peningkatan bank-bank bermasalah akan semakin besar.

Baca Juga: Populasi Penduduk di Bumi Akan Menurun, Kabar Baik atau Buruk?

Jika bank panic terjadi maka bank-bank akan kehilangan dana tunai dan mengakibatkan likuiditas bank tidak dapat mencukupi penarikan dana nasabah, sehingga bank akan dikategorikan bank bermasalah. Akhirnya bisa membuat bank-bank menjadi bankrut, seperti yang terjadi ketika pada krisis moneter 1997- 1998.

Oleh karena itu harus terbangun kepekaan dari semua pemangku kepentingan baik dari masyarakat, perbankan, maupun pemerintah akan krisis sehingga lembaga-lembaga keuangan yang berkaitan dengan stabilitas keuangan selayaknya bekerja dengan cepat.

Tampilan uang Rupiah dengan desain baru yang resmi diluncurkan oleh Bank Indonesia. (Sakina Rakhma Diah Setiawan/Kompas.com)

Penulis: Yohanes Berchman Suhartoko, Dosen Program Studi S 1 Ekonomi Keuangan dan Perbankan dan Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.