Kamar tempat bermalam Barry kala liburan itu kini diabadikan sebagai bagian dari Museum UGM. Di kamar itu masih ada ranjang tempat Barry lelap dalam tidur, juga meja kerja paman tirinya. Tampaknya, Barry tidur di sebuah kamar tidur sekaligus kamar kerja yang penuh dengan koleksi buku milik Soetiknjo.
“Kami sebenarnya berpikiran tidak akan banyak menggunakan guide,” ujarnya. Menurut hemat Sektiadi, pemandu hanya akan membatasi pengunjung, sehingga pengunjung tidak bisa mengembangkan pengetahuannya. Kelak, ungkap Sektiadi, museum ini akan dilengkapi paparan informasi yang bisa disentuh, dilihat, dan dibaca. “Seharusnya pengunjung bisa membangun sendiri pengetahuannya dengan berinteraksi dengan objek.”
Sejatinya, ide tentang pendirian museum ini sudah ada sejak awal dekade silam. Salah satu penganjur pendirian museum ini adalah Prof. Dr. Teuku Jacob, guru besar emeritus dalam bidang antropologi ragawi dari Fakultas Kedokteran UGM. Salah satu sudut museum ini juga menampilkan barang-barang pribadi milik Jacob: holograf, pena, dan replika kepala manusia katai asal Flores, juga foto legendarisnya bersama G.H.R. von Koenigswald—ahli geologi dan paleoantropologi sohor asal Jerman. Teuku Jacob pernah menjabat sebagai Rektor UGM yang ketujuh peridoe 1981-1986. Kritiknya terhadap pendapat para ahli seputar temuan Homo floresiensis dikutip dalam National Geographic Indonesia edisi pertama, April 2015.
Baca Juga: Batik Vorstenlanden: Kisah Batik Dari Empat Istana Penerus Mataram
Baca Juga: Di ruangan yang dahulu digunakan sebagai ruang tamu, saya menyaksikan lintasan waktu dari 1943 yang ditandai Sekolah Bagian Ilmu Kedokteran Gigi di Surabaya yang dibentuk Jepang hingga peresmian UGM pada 19 Desember 1959 oleh Presiden Sukarno. Pada lintasan waktu berikutnya, sebuah foto hitam-putih menampilkan seorang yang bersepeda memasuki salah satu gerbang keraton bergaya paladian yang bertuliskan “Universitit Negeri Gadjah Mada”. Saya mengenang almarhum ayah saya yang pernah berkata bahwa dia masih mengalami perkuliahan di dalam tembok keraton. Bahkan, kawasan kampus UGM yang sekarang berdiri di tanah milik Keraton Yogyakarta. Dalam ruangan istimewa lainnya, tampak hubungan mesra antara UGM dan Keraton Yogyakarta. Potret Sultan Kesembilan ditampilkan untuk mengenang peran dan kemurahan hatinya saat berdirinya kampus ini. “Museum UGM ini bukan satu-satunya,” ujar Sektiadi. “Museum Biologi merupakan museum tertua yang dimiliki UGM.” Selain itu kampus ini memiliki sederet museum lainnya seperti Museum Kayu Wanagama yang dikelola Fakultas Kehutanan, Museum Paleontropologi yang dikelola Fakultas Kedokteran, Museum Peta dan Museum Gumuk Pasir yang dikelola Fakultas Geografi, serta Museum Mandala Majapahit yang dikelola Fakultas Ilmu Budaya. Baca Juga: Rekam Jejak Pertunjukan Musik Klasik di Hindia Belanda pada Abad Ke-19